Ibarat pedang bermata dua, cinta tak bisa lepas dari prinsip ini: Amo ut amas [Latin: saya mencintaimu supaya kamu juga mencintaiku. Prinsip ini menegaskan satu realitas timbal balik yang nyata terjadi.
Anak-anak muda yang sering curhat ke saya selalu menyebut alasan mengapa mereka “putus” dengan kekasihnya. Apa yang mereka sampaikan?
“Dia udah tidak mencintaiku lagi! Buktinya SMS enggak dibalas, telepon enggak diangkat, email dan wall enggak dibalas. Di-like aja kagak!”
Mereka seakan mengatakan bahwa cinta itu harus berjalan dalam indikator tertulis, karena cinta itu harus bersifat audiovisualistik.
Tragisnya, cinta bahkan dibiarkan berjalan di atas media abstrak-maya. Orang yang dicintai boleh enggak kelihatan, asal dia ‘rajin’ membalasa sms, meluangkan waktu berlama-lama untuk telepon, selalu hadir di messengger/BBM, dst. Bahaya bukan?
Ya, begitulah orang di jaman ini memahami cinta. Cinta…, ya harus terukur dalam indikator-indikator di atas. Entah tulus atau tidak tulus toh tidak jadi soal. Yang penting, ya ada bukti “balas-berbalas” tadi.
Ya, begitulah orang di jaman ini memahami cinta. Cinta…, ya harus terukur dalam indikator-indikator di atas. Entah tulus atau tidak tulus toh tidak jadi soal. Yang penting, ya ada bukti “balas-berbalas” tadi.
Sebagai tambahan, ketulusan pun tak lagi jadi soal. Bagaimana mungkin dipermasalahkan, sebab relasi, bahkan yang intim sekalipun cukup direduksi ke dalam media ‘verbal’ bernama huruf, kata, dan kalimat.
Ya itu tadi, kata-kata yang disematkan atau diposting di di inbox, wall, atau di-sms ke HP; juga lewat kicauan di twitter dan media internet lainnya. Setuju atau tidak, tapi begitulah relasi antar-manusia, termasuk dua orang yang sedang dirajut cinta, berlangsung.
Masalah mulai muncul justru di saat “apa yang diharapkan/diimpikan” tak terpenuhi dan tak terwujud sebagaimana mereka dulu sepakati. Inbox/BBM/Wall/Posting dan sejenisnya tidak mendapat balasan, maka dunia seakan runtuh dan menimpa mereka, tapi khususnya salah satu pihak yang mempermasalahkannya.
Masalah mulai muncul justru di saat “apa yang diharapkan/diimpikan” tak terpenuhi dan tak terwujud sebagaimana mereka dulu sepakati. Inbox/BBM/Wall/Posting dan sejenisnya tidak mendapat balasan, maka dunia seakan runtuh dan menimpa mereka, tapi khususnya salah satu pihak yang mempermasalahkannya.
Lantas salah satu atau keduanya mulai frustasi, sakit hati, patah hati, bahkan tak jarang membuahkan tindakan ‘rela bunuh diri karena merasa tak lagi dicintai oleh ‘pasangan’-nya.” Di titik ini, cinta - selain menjadi “solution maker” - menjadi problem maker.
Di awal atau di tengah waktu berlangsungnya relasi cinta itu membawa kebahagiaan subyektif yang luarbiasa. Tapi di akhir relasi, bisa jadi cinta justru menjadi sebab penderitaan dan kesedihan yang mendalam.
Seperti biasa, persoalan relasi, khususnya soal “cinta-cintaan” ini tak pernah bisa tuntas kita bahas. Kata pengagum cinta mengatakan cinta itu misteri. Para ahli fisika mengatakan cinta itu soal energi yang bersinerji. Demikian juga para ahli dari berbagai bidang pengetahuan akan memandang cinta dari sudut profesi atau pemahaman mereka.
Seperti biasa, persoalan relasi, khususnya soal “cinta-cintaan” ini tak pernah bisa tuntas kita bahas. Kata pengagum cinta mengatakan cinta itu misteri. Para ahli fisika mengatakan cinta itu soal energi yang bersinerji. Demikian juga para ahli dari berbagai bidang pengetahuan akan memandang cinta dari sudut profesi atau pemahaman mereka.
Kendati demikian, mari kita refleksikan realitas “cinta dan mencintai” yang kita alami, atau yang terjadi di seputar kita. Apa itu? Di dalam cinta, hadir persahabatan sejati. Selain itu di dalam cinta juga hadir daya tarik seksual, relasi personal yang hangat, perhatian atau rasa nyaman.
Sejalan dengan hal itu, di dalam cinta kerap hadir derita, rasa putus asa, cemburu berlebihan, dendam, dan sebagainya. Untuk itu, di tiap tikungan relasi yang membuahkan cinta, kita harus waspada. Sebab, bukan cinta yang memilih kita, tapi kitalah yang memilih cinta, dan memutuskan untuk mencintai siapa.
Posting Komentar