Seringkali terjadi pemaksaan untuk ikut tradisi yang ada, termasuk tradisi kekerasan.
|
Dalam kehidupan bermasyarkat di negeri ini (dan masyarakat Timur pada umumnya) selalu tak terhindarkan konflik kultural antara pendatang baru dan penghuni lama di masyarakat yang dimasukinya.
Kehadiran pendatang baru ke sebuah komunitas masyarakat tertentu memang tak terhindarkan, apalagi efek globalisasi yang hari-hari ini menyelimuti kehidupan kita.
Tapi toh banyak fakta yang terjadi seringkali justru berkahir dengan konflik, bahkan dengan cara-cara brutal seperti FPI vs Ahmadiyah, atau yang terjadi dua dekade terakhir antara orang Dayak vs Madura.
Padahal di sisi lain, bukan saja antara kelompok masyarakat yang ada di republik ini, tapi juga sudah dan sedang terjadi percampuran secara global.Orang Batak misalnya sudah cukup banyak yang menikah dengan orang-orang di luar negeri, seperti orang-orang yang ada di negara lain di Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika. Tapi serentak kedua hal ini terjadi secara kontradiktif.
Reaksi Penolakan
Biasanya ada dua reaksi berikut akibat yang lahir dari pertemuan pendatang dan masyarakat setempat tersebut, yakni diterima atau ditolak. Disamping kedua opsi hitam-putih itu, sebetulnya ada satu lagi reaksi lain, yakni awalnya dimusuhi dan ditekan sedemikian rupa hingga mereka harus tunduk dan patuh pada aturan masyarakat setempat.
Reaksi Penolakan
Biasanya ada dua reaksi berikut akibat yang lahir dari pertemuan pendatang dan masyarakat setempat tersebut, yakni diterima atau ditolak. Disamping kedua opsi hitam-putih itu, sebetulnya ada satu lagi reaksi lain, yakni awalnya dimusuhi dan ditekan sedemikian rupa hingga mereka harus tunduk dan patuh pada aturan masyarakat setempat.
Ya, begitulah yang selalu terjadi dalam masyarakat komunal, khususnya yang ada di Indonesia tercinta ini.
Misalkan saja orang di Cigugur, Kuningan - Cirebon pada awalnya tidak mudah bagi masyarakat setempat untuk menerima orang luar yang datang dari tempat lain, sebut saja orang Flores, Jawa, Batak, dst.
Misalkan saja orang di Cigugur, Kuningan - Cirebon pada awalnya tidak mudah bagi masyarakat setempat untuk menerima orang luar yang datang dari tempat lain, sebut saja orang Flores, Jawa, Batak, dst.
Demikian juga di daerah Kalimantan yang mengalami traumatis saat dihadapkan dengan orang-orang Madura yang merantau dan akhirnya dianggap merusak tatanan adat Dayak yang ada di Kalimantan sana.
Demikian terjadi di tempal lainnya. Tak heran bila ada ungkapan "si Batak" bagi orang Batak yang merantau dan mencari nafkah di Pulau Jawa dan di luar Sumatera Utara, atau "si Jawa" atau "Jawa-Jawa" bagi orang Jawa yang ada di Sumatera Utara.
Menarik bahwa hingga hari-hari ini fenomena itu masih ada. Ternyata alam globalisasi yang seakan tak mampu menjadi hantu yang menakutkan bagi masyarakat komunal ini. Lantas, siapa dan apa yang disebut masyarakat komunal?
Ciri-ciri Masyarakat Komunal
Berikut ini ada 3 ciri-ciri umum yang bisa saya paparkan:
Berikut ini ada 3 ciri-ciri umum yang bisa saya paparkan:
(2) Bila ada orang lain yang berbeda, maka mereka akan "dibentuk" agar menjadi sama (dengan masyarakat setempat) melalu mekanisme rumor/gosip. Dengan demikian gosip lebih ditujukan kepada "mereka yang tidak sama (dengan masyarakat setempat)" supaya "menjadi sama (dengan masyarakat setempat)".
(3) Dengan prinsip dasar "hormat terhadap penghuni lama", maka setiap pendatang baru dituntut memberi hormat pada mereka yang datang lebih dahulu. Mekanisme perpeloncoan, baik secara resmi (melalui ritual-ritual tertentu) maupun secara tidak resmi (melalui perintah-perintah yang tidak resmi) atau pun melalui hambatan-hambatan terhadap orang-orang baru diterapkan untuk menimbulkan kepatuhan bagi orang-orang baru terhadap penghuni lama.
Demikianlah para pendatang baru akan dimusuhi dan merasakan tekanan-tekanan yang cukup besar untuk bertahan. Maka, bagi pendatang baru, hendaklah memperhatikan hal-hal ini, dan bagi penghuni lama semestinya juga harus bertobat dan tidak memaksakan kehendak dan aturan setempat kepada mereka yang baru saja tiba dan ingin hidup bermasyarakat dengan Anda.
Lusius Sinurat
Demikianlah para pendatang baru akan dimusuhi dan merasakan tekanan-tekanan yang cukup besar untuk bertahan. Maka, bagi pendatang baru, hendaklah memperhatikan hal-hal ini, dan bagi penghuni lama semestinya juga harus bertobat dan tidak memaksakan kehendak dan aturan setempat kepada mereka yang baru saja tiba dan ingin hidup bermasyarakat dengan Anda.
Lusius Sinurat
Posting Komentar