Masa Prapaskah selalu dimulai dengan upacara abu. Hari permulaan ini kita sebut Rabu Abu yang dikenal juga sebagai masa pertobatan atau masa pemeriksaan batin atau masa berpantang. Tujuan upacara abu ini adalah mempersiapkan diri untuk menyambut kebangkitan Kristus dan penebusan dosa kita. Abu adalah tanda pertobatan.
Demikian disebut dalam Kitab Yunus (Yunus 3:6), Kitab Ester (Ester 4C:13), bahkan simbolisasi ini sudah ada sejak Adam dan Hawa berbuat dosa. Kepada Adam dan Hawa, Tuhan mengingatkan bahwa mereka berasal dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu (Kej 3).
Kata-kata ini pula yang diucapkan imam atau diakon atau petugas lain pada saat membubuhkan abu pada dahi kita: "Ingatlah, kita ini abu dan akan kembali menjadi abu" atau "Bertobatlah dan percayalah kepada Injil".
Forma dan materia yang digunakan dalam upacara abu itu merupakan tanda yang mengingatkan kita: (1) untuk bertobat, (2) bahwa ada ketidakabadian di dunia, dan (3) bahwa satu-satunya keselamatan datang dari Tuhan Allah kita.
Untuk itu, Gereja memahami masa puasa bukan sekedar menahan lapar dan haus; lebih daripada itu, masa puasa adalah tindakan pertobatan yang wajib dilakukan selama 40 hari masa prapaskah, yang diawali sejak Rabu Abu (KHK kan 1249).
Tata Etik Berpuasa
Dalam Injil Matius Yesus memberi tata-etik tentang bagaimana cara berpuasa yang benar: “Apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa.
Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Mt 6:16-18).
Ungkapan Yesus di atas kiranya perlu kita renungkan kembali di masa kini, di mana kejujuran dan ketulusan “apa adanya” di tiap sisi hidup manusia jaman ini sungguh sangat langka. Bukankah lebih banyak orang yang senang “mengisi absensi” pada setiap Perayaan Ekaristi setiap hari daripada orang yang memang sungguh melakukannya karena iman yang rela dan tulus?
Ibaratnya di saat kita “puasa”, kita merasa orang lain mutlak menghargai. Artinya seseorang pasti mengumumkan bahwa ia sedang berpuasa.
Status-status orang Katolik yang ada di Facebook (FB), banyak memuat bagaimana ia berhasil atau tidak dalam menjalankan puasa. (bdk. dengan airmuka sedih, frustrasi, takut dan marah, mereka seakan mengata-kan bahwa mereka hebat karena kuat menahan rasa haus dan lapar).
Sementara, menurut Yesus, arti sesungguhnya dari berpuasa atau berpantang adalah mengupayakan diri agar semakin dekat atau mesra dengan Allah.
Makanya, buat apa pamer kalau kita sedang berpantang atau berse-dekah? Biasa aje kaleee hehehe. Mengapa? Sebab berpuasa bukanlah melulu soal pengendalian nafsu ragawi, tetapi lebih pada usaha kita memperbaiki atau memperbaharui cara hidup kita dengan cara bertindak yang semakin sesuai dengan kehendak Tuhan.
Berpantang dan Menyangkal Diri
Tata-etik versi Yesus di atas menggiring kita pada kesadaran bahwa berpuasa dan berpantang merupakan bentuk penyangkalan diri sendiri atau 'menyalibkan diri agar kita lebih setia pada panggilan, tugas utama, kewajiban atau janji-janji yang pernah kita ikrarkan.
Orang yang berpuasa dan menyangkal diri tidak akan menafikan kasih karunia Allah yang telah mereka terima, pun tidak akan menjadikannya sia-sia (2 Kor 6:1).
Sebab, hidup kita, termasuk segala sesuatu yang kita miliki/kuasai, seperti tubuh, kecerdasan, bakat, harta benda atau uang, pangkat atau kedudukan, jabatan, dsb., adalah melulu kasih karunia Allah yang telah kita terima melalui sesama manusia.
Menyadari Kasih Karunia Allah
Buah-buah dari berpantang dan berpuada ialah kasih karunia Allah, everything is given. Untuk itu selayak-nyalah kita nikmati dan fungsikan sesuai dengan kehendak Allah, yang bagi kita masing-masing berarti lebih setia pada panggilan, tugas pengutusan maupun kewajiban kita masing-masing, mengingat dan memperha-tikan dalam perjalanan waktu sampai kita mengalami erosi kesetiaan.
Untuk itu, sebagai orang yang telah dibaptis, kita harus lebih mawas dengan setia merawat rahmat pembaptisan yang telah kita terima. Dengan demikian:
- orang yang berkeluarga mawas diri akan rahmat sakramen perkawinan,
- orang yang hidup dalam imamat harus mawas diri perihal janji imamat, hidup membiara perihal kaul-kaul, dan akhirnya,
- mari kita secara bersama-sama mawas diri akan rahmat pembap-tisan yang mendasari hidup dan panggilan kita sebagai “ANGGOTA TUBUH KRISTUS” atau GEREJA.
Maka, marilah kita mawas diri atas janji-janji tersebut dengan sungguh-sungguh agar di Malam Paskah nanti kita layak memperbaharui janji-janji tersebut, dan secara khusus para imam akan memperbaharui janji di hari Kamis Putih.
Kesetiaan Sebagai Kunci Puasa
Yang menjadi penyebab utama ketidaksejatian hidup dalam keluarga, tempat komunitas basis diuji, ialah ketidaksetiaan orang dalam mengabdi Tuhan dan menolak godaan setan, yang menggejala dalam perilaku tak bermoral seperti
“…percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya" (Gal 5:19-21).
Ibadat dan Karya Amal
Akhirnya, melawan ketidaksejatian berarti memberantas perilaku tak bermoral yang lahir dari pikiran, perkataan dan perbuatan yang menafikan kesetiaan dalam hidup perkawinan. Perbuatan amoral di atas ini juga membuat orang tidak setia pada panggilan, tugas pengutusan maupun kewajiban:
“Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya”, demikian nasihat atau pesan nabi Yoel (Yl 2:13).
Matiraga atau lakutapa kita di masa Prapaskah ini hendaknya juga ditandai lebih giat dalam "menjalankan ibadat dan karya amal kasih", berdoa dan berbuat baik kepada orang lain dimanapun dan kapanpun, lebih-lebih bagi mereka yang miskin dan berkekurangan.
Pada kenyataannya, jumlah mereka yang miskin dan berkekurangan dalam hal harta benda atau uang atau kebutuhan hidup sehari-hari jauh lebih sedikit daripada yang berkecukupan atau berlebihan. Maka jika yang berkecukupan dan berlebihan dengan jiwa besar dan hati rela berkorban mau membantu mereka yang miskin dan berkurangan, dambaan atau harapan “melawan kemiskinan” dapat menjadi kenyataan atau terwujud.
Penutup
Akhirnya di masa Prapaskah ini mari kita tingkatkan penghayatan atas dua prinsip hidup beriman atau menggereja yaitu (a) SOLIDARITAS dan (b) KEBERPIHAKAN KEPADA YANG MISKIN DAN BERKEKURANG (preferential option for/with the poor).
Dalam konteks APP Keuskupan Bandung, komunitas basis, yakni keluarga - yang miskin dan berkekurangan juga berarti keluarga-keluarga (ayah-ibu-anak) yang mengalami disharmoni dalam kehidupan rumah-tangganya.
“Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku! Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku. Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat” (Mzm 51:3-6a).
Lantas, tindakan konkrit apa yang bisa Anda buat selama masa prapaskah ini di keluarga, lingkungan gereja atau di masyarakat? Konkrit di sini berarti ada perubahan ke arah yang lebih baik (suci) dalam pikiran, perkataan, dan tindakan kita.
GEMPAR, edisi 01/Minggu I/Maret/2011
Posting Komentar