Orang lalu berdoa, memohon sesuatu kepada Allah. Entah itu pekerjaan, jodoh, kesehatan, dan seterusnya. Doa dipandang sebagai toko serba ada.
Bedanya, toko serba ada tanpa bayar. Pemiliknya adalah Tuhan yang tidak tampak tapi sungguh mengawasi. Bila membeli di 'toko' itu kita tinggal "maen ambil aje" dan enggak usah bayar.
Demikianlah doa banyak dipahami dan dihidupi banyak orang. Akibatnya tragis! Bila doanya tidak dikabulkan (versi si pendoa bersangkutan), ia akan sagat marah dan mulai mengutuk Tuhan.
Dunia globalisasi yang memang penuh dengan gombalisasi ini secara tidak sadar telah menggiring kita menjadi orang yang pragmatis: semua bisa dibeli, asalkan berguna! Praktek doa dengan mentalitas dagang ini sungguh membahayakan !
Selain merusak statistik (karena orang mulai pindah-pindah agama / kepercayaan), juga merusak dirinya sendiri. Soalnya, tindakan semacam ini sama saja sebagai tindakan menyangkal diri sendiri sekaligus peng-obyek-an orang lain.
Bila semua dihitung dan diperhitungkan secara matematis, maka hidup tak lebih dari seonggok kalkulator yang siap menjumlah apa yang kita beri dan apa yang kita minta.
Doa yang sesungguhnya adalah doa yang bersumber dari atau berpuncak pada kehendak Allah. Singkatnya, doa ialah kepasrahan kita kepada kehendak Allah.
Sebuah kepasrahan karena kita tidak mampu: tidak saja untuk melakukan sesuatu tetapi juga untuk memahami sesuatu dalam hidup kita.
Dengan doa, sebagaimana Maria Bunda Allah, kita justru membiarkan Allah menentukan mana yang baik bagi kita, tapi menurut Allah sendiri, dan pasti bukan menurut diri kita sendiri. Semoga.
Inspirasi: Est 4:10a,10c-12,17-19; Mat 7:7-12
Posting Komentar