1. Meratapi Kehilangan-kehilangan
- Dalam hidup kita sehari-hari kita kerap mengalami kehilangan, khususnya kehilangan orang. Entah itu orangtua, sanak-saudara, sahabat, maupun orang yang kita kasihi. Ditinggalkan di sini berarti ditinggal mati atau di tinggal pergi.
Berikut adalah reaksi kita atas kehilangan itu: (1) berusaha menahan perasaan kehilangan itu; (2) menganggapnya sebagai saran untuk menguji iman kita; dan (3) mencari solusi (way out) secara tepat.
- Hari ini kita merayakan hari Kenaikan Yesus ke Surga. Para murid tidak habis pikir mengapa Yesus harus pergi. Bukankah enggak lebih baik kalau Yesus tinggal di dunia aja dan akan lebih banyak orang terbantu oleh kehadiranNya?
Pendek kata, mereka merasa kehilangan Sang Tokoh penting, dan itu membuat mereka linglung, pusing tujuh keliling, dan merasakan hidupnya menjadi kering. Nah, suasana ini lah yang harus kita miliki sebelum masuk dalam Perayaan Ekaristi, yakni perasaan kehilangan atau perasaan remuk redam. Kita kehilangan Yesus yang selama satu minggu nyaris kita cuekin.
Lalu, bagaimana sikap kita menghadapi kehilangan itu? Ada dua reaksi standar kita: (1) marah dan (2) bersyukur. Marah (kadang identik dengan dendam juga) merupakan reaksi negatif: tidak bias menerima keadaan yang sesungguhnya. Sedangkan sikap bersyukur adalah sikap positif.
- Bersyukur merupakan counter atas amarah tadi. Mungkin awalnya kita akan meratapi kehilangan itu. Dengan meratapi sesungguhnya kita sampai pada pemahaman bahwa hidup itu adalah anugerah. Betapa tidak, ternyata kita menjadi sadara betapa orang yang meninggalkan kita itu adalah orang yang kita butuhkan dan kita cintai.
Hanya dengan bersyukur tersebutlah kita berani bertanggungjawab atas beban yang secara langsung kita sebabkan sendiri. Maksudnya, sikapa menyalahkan diubah menjadi pengakuan kita dalam kehancuran umat manusia. Pada tahapan ini muncul lah sikap tobat. Hati yang ber tobat adalah hati yang tidak menyalahkan; melainkan mengakui peran kedosaan dalam dunia. Dan oleh karenanya kita dimampukan menerima belas kasih Allah.
- Demikianlah doa Tobat atau Tuhan Kasihanilah kami mekita meruntuhkan sikap sinis kita. Dengan begitu, kita mengimana bahwa di tengah ratapan akan ada anugerah untuk di syukuri. Tapi, enggak cukup sampe di situ coy! Sebab kita harus melibatkan Tuhan dalam proses itu. Oleh sebab itu, kita harus menegaskan kehadiran Tuhan.
2. Menegaskan Kehadiran
- Saat kita mengalami kehilangan tadi kita selalu ada orang asing yang mau mendengarkan kekecewaan, kesedihan, kebingunan kita. Bisa jadi, mereka tidak menyanggah, bahkan akan meneguhkan kita, pun member perspektif baru atas peristiwa kehilangan itu. Dalam konteks injil hari ini (HR Kenaikan Yesus, 13 Mei 2010), peran orang asing itu adalah Roh Kudus yang diutus Bapa, pasca kembaliNya Yesus kepada BapaNya. Artinya, orang yang kita andalkan menjadi solusi tidak selalu tepat.
- Di titik inilah kita membutuhkan Allah. Kehadiran Allah, dalam Ekaristi, pertama-tama dirasakan lewat sabda. Tanpa hal tersebut, kita tak mampu mengenali kehadiranNya lewat PEMECAHAN ROTI.Kekuatan Sabda tidak terletak pada cara kita menerapkannya dalam hidup kita, melainkan dalam DAYA UBAH nya yang mengerjakan karya ilahi ketika kita mendengarkannya.
- Dalam tindakan mendengar itu lah Allah hadir. Sebab, kata-kata dalam sabda itu member pengetahuan yang lain kepada saya dan mengenai diri saya. Sebab pengalaman iman orang terdahulu, dari sejak penciptaan - perutusan Yesus - sampai hari ini, sungguh menyadarkan keberadaan kita.
- Pengalaman ini, sebagaimana dialami murid Emaus, membuat hati kita berkobar-kobar.
3. Mengundang Orang Asing
- Orang yang member solusi terbaik, selalu memukau kita, membuat kita terpesona. Maka tak heran bila akhirnya kita mengundangnya untuk sekedar mampir ke tempat tinggal kita.
- Sejajar dengan itu, Perayaan Ekaristi juga merupakan undangan agar Allah sudi datang dan tinggal bersama kita. Ini adalah ungkapan kerinduan untuk membangun hubungan yang akrab dan intim… dan lantas kita berseru: “I believe in you... all of my heart!”
- Masih dalam ruang lingkup Perayaan Ekaristi, sesudah bacaan, kita mengungkapkan Credo (Syahadat) atau pengakuan iman.
- Dan ini merupakan tindakan penyerahan diri. Saat diundang Yesus adalah tamu, tapi segera setelah masuk ke dalam diri kita, ian menjadi tuan rumah. Akhrinya, Dia sendirilah yang mengundang kita masuk ke dalam persekutuan yang penuh denganNya.
4. Masuk Kedalam Persekutuan
- Pada saat kita bergabung dan bersekutu dengan Yesus, Ia akan memberikan segalanya bagi kita: “Makanlah … Minumlah…!” Dalam Ekaristi Allah menjadi makanan dan minuman kita, now and here.
- Pada titik ini jelas sekali bahwa kita rindu menjadi milik Allah dan Allah pun rupanya rindu menjadi milik kita. Maka saat Murid Emaus juga Yesus makan roti, mereka pun mengenaliNya. Inilah kesaran rohani yang mendalam. Yesus bersemayam dan berbicara dalam diri mereka.
- Dengan demikian terjadi hubungan baru dengan Allah. Di titik ini, KOMUNI menciptakan KOMUNITAS. Artinya, lewat roti yang di makan, mereka tidak saja mengenal Yesus, tapi juga jadi saling antara mereka sendiri - sebagai anggota komunitas baru. Namun, akhirnya tak cukup sampai di situ. Komunitas itu harus bergerak pada tugas perutusan
5. Pergi menjalankan tugas perutusan
- Perutusan tidak dalam kesendirian, tapi dalam kebersamaan (Murid Emaus: pergi berdua). Tugas perutusan itu juga tridak mudah. Penuh resiko.
- Namun, sebagaimana dua murid Emaus tadi, mereka sudah dikuatkan Yesus jauh di kedalaman hati mereka.
- Maklumat dari tugas perutusan itu adalah mewartakan bahwa Allah benar-benar hidup dan Yesus ada dalam diri kita. Oleh karena itu, kita sungguh merasakan bahwa kehidupan jauh lebih kuat dari kematian; dan cinta jauh lebih kuat dari ketakutan!
* Materi tambahan untuk Rekoleksi Calon Penerima Komuni Pertama
Posting Komentar