PRAKATA (1-13)
BAB I: PERATURAN LITURGI SUCI (14-35)
1. Uskup Diosesan, Imam Agung bagi kawanannya (19-25)
2. Konferensi Uskup (26-28)
3. Para Imam (29-33)
4. Para Diakon (34-35)
BAB II : PARTISIPASI KAUM AWAM DALAM PERYAAN EKARISTI (36-47)
1. partisipasi aktif dan sadar (36-42)
2. Bidang-bidang pelayanan kaum Awam Kristiani dalam perayaan Misa Kudus (43-47)
BAB III : TATA PERAYAAN MISA YANG BENAR (48-79)
1. Bahan Ekaristi Mahakudus (48-50)
2. Doa Syukur Agung (51-56)
3. Bagian-Bagian lain dari Misa (57-74)
4. Penggabungan pelbagai Ritus dengan Perayaan Misa.(75-79)
BAB IV : KOMUNI SUCI (80-107
1. Syarat-syarat untuk menyambut Komuni Suci (80-87)
2. Membagi Komuni Suci (88-96)
3. Komuni Para Imam (97-99)
4. Komuni dalam Dua Rupa (100-107)
BAB V : BEBERAPA HAL LAIN MENYANGKUT EKARISTI
1. Tempat Perayaan Ekaristi (108-109)
2. Berbagai kemungkinan lain berkaitan dengan Misa (110-116)
3. Bejana-bejana suci (117-120)
4. Busana Liturgis (121-128)
BAB VI : PENYIMPANAN EKARISTI MAHAKUDUS DAN PENGHORMATAN EKARISTI DI LUAR MISA (129-
1. Menyimpan Ekaristi Mahakudus (129-133)
2. Bentuk-bentuk Penghormatan Ekaristi Mahakudus di luar Misa (134-141)
3. Perarakan dan Kongres Ekaristi (142-145)
BAB VII : PELAYAN-PELAYAN TAK LAZIM KAUM AWAM (146-168)
1. Pelayan tak lazim untuk Komuni Suci (154-160)
2. Membawakan Homili (161)
3. Ibadat-ibadat khusus tanpa Imam (161-167)
4. Mereka yang telah meninggalkan jabatan klerikal (168)
BAB VIII : TINDAKAN PEMULIHAN (169-184)
1. Kejahatan amat besar (Graviora Delicta) (172)
2. Pelanggaran Berat (173)
3. Penyelewengan-penyelewengan lain (174-175)
4. Uskup Diosesan (176-180)
5. Takhta Apostolik (181-182)
6. Keluhan tentang Pelanggaran di Bidang Liturgi (183-184)
1. Dalam Ekaristi Mahakudus Bunda Gereja mengenal dengan iman kokoh dan menerima dengan sukacita sakramen penebusan. Sakramen itu dirayakannya dan dihormatinya sambil bersembah sujud. Dengan jalan itu Gereja mewartakan wafat Kristus Yesus dan memaklumkan kebangkitan-Nya sampai ia datang dalam kemulian untuk, sebagai tuhan dan pemimpin yang tak terkalahkan sebagai imam abadi serta raja alam semesta. Menyerahkan kepada Bapa yang mahakuasa dan maha agung sebuah kerajaan kebenaran dan kehidupan.
2. Di dalam Ekaristi Mahakudus terkandung seluruh kekayaan rohani Gereja,yakni Kristus, Anak Domba paskah kita, Ekaristi itu pun adalah sumber dan puncak seluruh kehidupan kristiani dan merupakan daya cipta pada sumber eksitensi Gereja. Ajaran Gereja mengenai hal ini semuanya telah di uraikan dengan penuh kepedulian dan dengan kewibawaan besar selama segala abad yang telah berlalu melalui laporan-laporan konsili-konsili serta tulisan-tulisan para Paus, Bahkan belum lama ini, dalam Ensikliknya Ecclesia de Eucharistia, Paus Yohanes paulus II menekankan lagi segi-segi tertentu hal ini yang amat penting di bawah sorotan situasi Gereja dewasa ini.
Agar supaya dalam perayaan Liturgi suci, Gereja sebagaimana seharusnya menjaga juga di zaman misteri yang begitu agung, maka Sri Paus telah menugaskan kongregasi ibadat dan tata tertib sakramen, dalam kerjasama dengan kongregasi untuk ajaran iman, untuk merancang intruksi mengenai hal-hal yang menyangkut ketertiban dalam pelaksanaan Sakramen Ekaristi. Maka hal-hal yang terdapat dalam intruksi ini harus di pandang dalam kaitannya dengan Ensikklik Ecclesia de Eucharistia tersebut.
Dalam intruksi ini tidaklah di maksudkan untuk menyajikan sebuah rangkuman menganai segala norma menyangkut Ekaristi Mahakudus itu,melainkan terutama untuk menugaskan kembali beberapa unsure yang terdapat dalam norma-norma liturgi, yang sudah pernah diuraikan atau dituangkan dalam tulisan, dan hingga hari ini berlaku untuk menjamin apresiasi yang makin mendalam terhadap norma-norma liturgi itu, dan juga untuk menentukan norma-norma tertentu, melaluinya norma-norma yang mendahuluianya dijelaskan dan dilengkapinya; tak lupa juga untuk menunjukan kepada para uskup.imam. Diakon dan semua umat beriman bagaimana mereka masing-masing harus melaksanakannya sesuai dengan tanggung jawabnya serta situasi dan kondisi setempat.
3. Norma-norma yang dihadirkan dalam intruksi ini, harus dipandang sebagai bagian dari liturgi Ritus Romawi dan, sejauh berlaku, dari Ritus-Ritus lain dalam Gereja latin yang diakui dalam Hukum.
4. Sungguh,pembaruan liturgi yang di canangkan oleh konsili,di kalangan umat telah merupakan sumbangan besar untuk partisipasi yang lebih sadar,? Sekalipun demikian, ?terdapatlah pula segi-segi yang mencemaskan?. Dalam konteks ini disebut penyelewengan-penyelewengan, bahkan yang sungguh berat, terhadap liturgi dan sakramen-sakramen maupun terhadap tradisi dan wewenang Gereja, yang dewasa ini tidak jarang mengganggu upacara-liturgis di dalam lingkup-lingkup gerejani yang berbeda-beda, Di tempat-tempat tertentu sejumlah penyimpangan seperti di maksud, sudah hampir menjadi kebiasaan harian: suatu hal yng tentu saja tidak dapat diizinkan dan harus dihentikan.
5. Ketaatan kepada norma-norma yang di maklumkan oleh Gereja hanya mungkin jika ada kesamaan pikiran dan perkataan, kesamaan aksi lahiriah dan kesepakatan hati, ketaatan lahriah melulu terhadap norma-norma tentu saja bertentangan dengan semangat liturgi suci, memupuk cinta akan orang yang miskin dan tersingkir, selain itu,kata-kata dan tata cara liturgis, yang telah dimatangkan selama berabad-abad lamanya, merupakan suatu pernyataan iman serta pemahaman akan Kristus; melaluinya kita belajar berpikir seperti dia berpikir; sambil menyelaraskan kata-kata ini dengan budi,kita mengangkat hati kita kepada kita, segala sesuatu yang dikemukakan dalam intruksi ini, tertuju pada penyelarasan pemahaman kita sendiri dengan pemahaman Kristus, seperti diungkapan dalam kata-kata dan tata cara liturgi.
6. Penyelewengan-penyelewengan ?turut mengaburkan iman serta ajaran katolik mengenai sakramen ajaib ini?. karena itu, segala penyelewengan itu juga menghalangi kaum beriman untuk ?mengalami kembali apa yang dialami kedus murid Emaus: dan terbukalah mata mereka dan mereka pun mengnal dia.? Dihadapan kuasa dan keilahian Allah serta kebaikaNya yang cemerlangyang menjadi nyata secara istimewa dalam sakramen Ekaristi, pantaslah semua umat beriman memiliki dan menyatakan kesanggupannya untuk mengakui kebesaran Allah; kesanggupan itu telah mereka terima melalui penebusan yang diperoleh melalui sengsara Putra Allah yang tunggal.
7. Tak jarang penyelewengan-penyelewengan itu bersumber pada salah pengertian mengenai makna kebebasan. Dalam Kristus, Allah tidak menjamin bagi kita suatu kebebasan semu yang memberi kita peluang untuk berbuat apa saja yang kita kehendaki, melainkan suatu kebebasan yang dengannya kita boleh berbuat apa yang tepat dan benar. Ini berlaku bukan hanya untuk perintah-perintah yang berlangsung dari Allah,melainkan juga untuk hukum dan undang-undang yang dimaklumkan oleh Gereja, tentu dengan memperhatikan secara wajar cirri-ciri khas setiap peraturan, karena itu,semua harus menuruti penetapan-penetapan yang berasal dari pimpinan Gereja yang sah.
8. Maka dengan amat sedih dapat kita catat adanya ?inisiatif-inisiatif ekumenis, yang tentu saja punya maksud baik, namun kadang-kadang mengarah kepada praktek-praktek Ekaristi yang berlawanan dengan tata tertib iman yang diajarkan oleh Gereja. ?Padahal Ekaristi itu? adalah karunia yang terlalu agung untuk dijadikan sasaran kebingungan atau pelecehan. ?Karena itu perlulah sejumlah hal dibetulkan atau digariskan peraturannya dengan lebih jelas. Sehingga dari segi ini pun Ekaristi akan tetap bersinar dalam misterinya yang cemerlang.?
9. Akhirnya, penyelewengan-penyelewengan itu sering berlandaskan ketidakpahaman, dan dapat menyingkirkan unsur-unsur yang maknanya tidak dipahami secara lebih mendalam dan yang nilai sejarahnya tidak diperhatikan. Karena ?doa-doa liturgis dan madah serta nyanyian liturgis semuanya diresapi ilham dan dorongan? Kitab Suci sendiri, ?dan justru dari kitab suci itu, tata cara serta kitab suci itu sendiri,? Tanda-tanda lahiriah ?yang dipergunakan dalam liturgi suci untuk menandai realita-realita ilahi yang tak kelihatan,telah dipilih oleh Kristus atau pun oleh Gereja?. Akhirnya, susunan dan bentuk upacara-upacara suci, menurut masing-masing Ritus Timur dan Ritus Barat, adalah sesuai dengan praktek Gereja universal, Hal yang sama berlaku kebiasaan-kebiasaan yang secara universal ditereima melalui tradisi yang tak putus-putus semenjak zaman rasul, Menjadi Gereja untuk meneruskannya dengan setia dan penuh perhatian kepada generasi-generasi mendatang, semuanya diamankan dan dilindungi dengan bijaksana melalui norma-norma liturgis.
10. Gereja sendiri tidak mempunyai kuasa atas hal-hal yang ditetapkan oleh Kristus sendiri dan yang merupakan bagian yang tak berubah-rubah dalam liturgi. jika diputuskan kaitan antara sakramen-sakramen dengan Kristus yang mengadakannya dan dengan peristiwa-peristiwa pada pembentukan awal Gereja, maka sesungguhnya bagi umat beriman hal itu tidak akan membawa manfaat melainkan sebaliknya akan sangat merugikan mereka. Maklumlah liturgi suci berhubungan erat dengan dasar-dasar ajaran iman, sehingga penggunaan teks dan tata cara yang tidak di sahkan, dengan sendirinya akan menyebabkan merosotnya ataupun hilangnya hubungan yang mutlak perlu antara lex orandi dan lex credendi.
11. Misteri Ekaristi ini ?terlalu agung bagi siapa pun juga untuk merasa bebas melakukannya sesuai dengan pandangannya sendiri, sehingga kekudusannya dan penetapannya yang universal menjadi kabur? sebaliknaya, siapa saja yang bertindak demikian dan melampiaskan saja kecendrungannya sendiri-juga bila dia seorang imam-melukai kesatuan hakiki Ritus Romawi, yang seharusnya dijaga ketat. Dia pun harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang sama sekali tidak menanggapi kelaparan dan kehausan akan Allah yang hidup yang dialami orang dewasa ini, perbuatan-perbuatan yang demikian tidak juga membawa manfaat untuk reksa pastoral yang otentik atau pembaharuan liturgi yang benar; sebaliknya. Karena ulah-ulah itu, umat beriman dirampasi dari harta kekayaan dan warisannya, Demikianlah perbuatan-perbuatan yang sewenang-sewenang itu bukannya jalan menuju ke pembaharuan yang sejati, melainkan melanggar hak umat beriman akan sebuah perayaan liturgis yang adalah pengukapan hidup Gereja sepadan dengan tradisi dan tata tertibnya, pada akhirnya sikap ini menyebabkan masuknya unsur-unsur yang merusak dan menghancurkan ke dalam Ekaristi itu sendiri, yang justru seharusnya-karena mulianya dan berdasarkan maknanya sendiri-menandai serta menghadirkan secara ajaib persekutuan hidup ilahi dan persatuan umat Allah, Alhasil ialah kebingungan di bidang ajaran Gereja, kekacauan dan scandalum dipihak umat Allah, dan?sebagai akibat hampir pasti-perlawanan yang kuat; dan semuanya itu akn banyak umat beriman merasa bingung dan sedih, khususnya dimasa kita ini ketika hidup kristiani sudah begitu dipersulit akibat menjalarnya ?sekularisasi? pula.
12. Sebaliknya, menjadi hak sekalian umat beriman bahwa liturgi, khususnya perayaan Misa Kudus, dilangsungkan sungguh sesuai dengan hasrat Gereja, sesuai dengan penetapan-penetapannya seperti di gariskan dalam buku-buku liturgi dan dalam hukum-hukum dan peraturan lainnya, demikian pula, umat katolik berhak untuk sebuah kurban Misa Kudus yang dirayakan bagi mereka secara utuh, sesuai dengan Ajaran Gereja, dan akhirnya, adalah hak komunitas katolik bahwa Ekaristi yang Maha Kudus itu dilaksanakan baginya sedemikian rupa sehingga sungguh mencolok sebagai sakramen kesatuan, seraya menjauhkan segala cela dan ulah yang dapat menimbulkan perpecahan dalam Gereja.
13. Semua peraturan dan peringatan yang dikemukakan dalam inturksi ini, mempunyai kaitan-sekalipun atas cara-cara yang berbeda-dengan perutusan Gereja, yang bertanggung jawab agar misteri sebesar ini dirayakan secara benar dan pantas, dalam bab terakhir intruksi ini akan di bahas sejauh mana setiap norma berkaitan dengan norma tertinggi seluruh hukum Gereja ialah kepedulian akan keselamatan jiwa-jiwa.
14. Wewenang untuk mengatur liturgi semata-mata ada pada pimpinan Gereja, yaitu Tahta Apostolik, dan menurut kaidah hukum, pada Uskup.
15. Paus di Roma, "Wakil Kristus dan Gembala Gereja universal di dunia ini, yang karenanya berdasarkan tugasnya mempunyai kuasa jabatan tertinggi, penuh, langsung dan universal dalam Gereja yang selalu dapat dijalankanya dengan bebas", dan juga melalui komunikasi dengan para gembala dan dengan anggota-anggota kawananya.
16. "Takhta Apostoliklah, yang berwenang untk mengatur liturgi suci seluruh Gereja, menerbitkan buku-buku liturgi serta memberikan recongnitio (mensahkan) terjemahannya kedalam bahasa-bahasa pribumi, dan juga mengawasi agar dimanapun peraturan-peraturan liturgi, khusus yang menyangkut perayaan kurban Misa yang begitu agung itu, ditepati dengan setia.
17. "Menjadi kongregasi ibadat dan tata terbit sakramen umtuk memperhatikan hal-hal yang menjadi wewenang Takhta Apostolik menyangkut penetapan peraturan dan upaya memajukan liturgi suci, secara istimewa sakramen-sakramen, dengan mengindahkan wewenang kongregasi ajaran iman. Tata tertib sakramen-sakramen diperhatikannya dan di berinya bobot, khususnyasejauh menyangkut perayaanya secara sah dan menurut peraturan yang berlaku". Akhirnya, kongregasi tersebut dengan seksama berusaha menjamin bahwa peraturan liturgi dituruti dengan teliti dan bahwa penyelewengan-penyelewengan dicegah atau di hilangkan dimana saja ditemukan". Dalam konteks ini, sesuai dengan tradisi Gereja universal, perhatian utama diberi kepada perayaan Misa Kudus dan juga kepada penghormatan yang diberikan kepada engkau Kudus di luar Misa.
18. Menjadi hak umat beriman bahwa pimpinan Gereja mengatur Liturgi Suci secara penuh dan tepat-guna supaya terhindarkan kesan bahwa liturgi itu menjadi "milik pribadi seseorang, entah selebran atau komunitas di mana misteri-mistri itu dirayakan"
19. Uskup diosesan, pelayan utama misteri-misteri Allah dalam Gereja particular yang dipercayakan kepadanya, adalah moderator, promoter dan penjaga seluruh hidup liturgis kawanannya, karena "Uskup", yang dianugerahi kepenuhan sakramen Tahbisan, adalah "pelayan rahmat Imam Agung", teristimewa dalam Ekaristi yang dipersembahkannya atau disuruhnya untuk dipersembahkan, melaluinya Gereja senantiasa hidup dan berkembang.
20. Sungguh benar, Gereja menunjukkan diri dengan cara paling agung kapan saja Misa dirayakan, teristimewa di Gereja Katedral, dengan partisipasi penuh dan aktif dari seluruh umat Allah yang kudus, yang, bersatu dalam doa bersama, menghadap satu altar dengan Uskup sebagai pemimpin upacara, dikelilingi oleh para imamnya, bersama para diakon serta pelayan-pelayan. Selain itu, "tiap perayaan Ekaristi yang dilaksanakan menurut hukum, dipimpin oleh Uskup, yang kepadanya dipercayakan jabatan untuk menghadapkan ibadat agama Kristiani kepada Sang Ilahi serta mengaturnya sesuai dengan perintah Tuhan dan hukum Gereja, diretapkan lebih lanjut sesuai dengan kebijakannya sendiri untuk Keuskupannya".
21. Jadi Uskup diosesan berhak "dalam batas kewenangannya, menetapkan norma-norma liturgis dalam Diosisnya, yang harus ditaati emua". Namun, Uskup harus berusaha untuk tidak meniadakan kebebasan-kebebasan tertentu yang tercantum dalamnorma-norma buku-buku liturgi dengan tujuan supaya perayaan dapat disesuaikan secara cerdas dengan corak gedung Gereja atau dengan kelompok orang beriman yang hadir atau dengan situasi pastoral yang khusus, sedemikian rupa sedemikian rupa sehingga perayaan suci yang universal itu sungguh disesuaikan dengan pemahaman manusia.
22. Uskup memimpin Gereja partikular, dan adalah tugasnya untuk megatur, mengarahkan, menyemangati dan kadang-kadang juga menegur mereka yang dipercayakan kepadanya; inilah suatu tugas suci, yang telah diterimanya melalui pentahbisannya sebagai sebagai Uskup dan yang dipenuhinya untuk membangun kawanannya dalam kebenaran dan kesucian. Pantaslah ia menerangkan arti yang tercantum dalam tata cara serta teks-teks liturgis itu dan memupuk semangat Liturgi pada para Imam, Diakon serta kaum awam sehingga semuanya dibimbing untuk secara aktif merayakan Ekaristi dan memetik buahnya; demikian pula ia harus berusaha agar seluruh tubuh Gereja dapat bertumbuh dalam pemahaman yang sama, dalam persekutuan cinta, baik di dalam lingkup keuskupan, maupun di tingkat nasional dan internasional.
23. Kaum beriman "sepantasnya mempercayakan diri kepada Uskup seperti Gereja pasrah kepada Yesus Kristus, dan Yesus Kristus pada Bapa, sehingga semuanya berada dalam persekutuan harmonis dan memuliakan Allah dengan selimpahnya". Semuanya, termasuk para anggota tarekat-tarekat hidup bakti serta tarekat-tarekat sekulir dan juga berbagai perkumpulan dan gerakan mana pun, harus tunduk kepada wewenang Uskup diosesan, dalam segala yang menyangkut liturgi, kecuali bila ada hak-hak yang secara sah telah diberikan, Maka Uskup mempunyai baik hak maupun kewajiban untuk menjaga serta memperhatikan Gereja-Gereja serta kapala-kapala dalam wilayah keuskupannya dari segi liturgi, Hal ini berlaku juga bagi Gereja dan kapela yang didirikan oleh Tarekat-tarekat tadi atau yang dipimpin mereka, jika umat beriman biasanya dating beribadat disitu.
24. Dari pihak umat, mereka mempunyai hak agar Uskup mencegah terjadinya penyelewengan-penyelewengandalam tata tertib Gereja, terutama menyangkut pelayanan sabda, perayaan sakramen dan sakramentali, ibadat kepada Allah dan devosi kepada para kudus.
25. Komisi-komisi atau dewan-dewan atau panitia-panitia yang didrikan oleh Uskup untuk menangani "berkembangnya liturgi, Musik dan kebudayaan rohani dalam dosisnya", harus bertindak sesuai dengan pandangan dan norma-norma Uskup, mereka tergantung dari wewenangnya serta persetujuannya untuk dapat melaksanakan tugas mereka dengan cara yang tepat, sehingga tetap Uskup sendirilah yang memimpin diosisnya.
Adapun mengenai badan dan kelompoknya itu dan semua daya upaya sekitar liturgi; sebagaimana sudah seharusnya para Uskup mempertimbangkan apakah sejauh ini segala usaha badan-badan itu telah membawa hasil, dan mempertimbangkan juga dengan seksama perubahan atau perbaikan mana yang sudah sepantasnya diadakan dari segi susunanya dan kegiatannya, sehingga semangat mereka dihidupkan kembali, Perlulah selalu diperhatikan bahwa para ahli itu harus dipilih dari antara mereka yang dikenal setia dalam iman Katolik dan punya pengetahuan secukupnya di bidang teologi dan kebudayaan.
26. Hal yang sama berlaku untuik komisi-komisi sejenis yang telah didirikan oleh Konferensi Uskup sesuai dengan keinginan konsili, yakni Komisi-komisi yang anggota-anggotanya terdiri dari Uskup-Uskup yang secara dibedakan dari orang-orang ahli yang membantu mereka. Di mana jumlah anggota sebuah konferensi Uskup tidak mencukupi untuk dengan mudah membentuk sebuah komisi liturgi yang terdiri atas anggota-anggotanya sendiri, maka harus diangkat suatu dewan atau kelompok ahli, tetapi selalu diketahui oleh seorang Uskup. kelompok itu sejauh mungkin mempunyai fungsi yang sama, sekalipun tidak memakai nama yang sama "komisi liturgi"
27. Sudah sejak tahun 1970, Takhta Apostolik memperingatkan bahwa semua eksperimen sekitar perayaan Misa Kudus harus berhenti, pernyataan ini diulangi dalam tahun 1988 maka baik Uskup-Uskup secara pribadi maupun Konferensi Uskup tidak mempunyai wewenang untuk mengizinkan eksperimen dengan teks-teks liturgi atau semua hal lain yang ditetapkan dalam buku-buku liturgi. Untuk eksperimen sejenis di masa mendatang, dibutuhkan izin dari Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen. Izin itu harus diberi secara tertulis dan permohonannya harus dimasukkan oleh Konferensi Uskup. Sesungguhnya permohonan yang demikian tidak akan dikabulkan tanpa alasan serius. Adapun kegiatan-kegiatan inkulturasi di bidang liturgi, hendaknya diperhatikan dengan teliti dan lengkap norma-norma khusus yang sudah ditetapkan.
28. Semua norma yang berhubungan dengan hal-hal liturgi, yang sesuai dengan hukum telah ditetapkan oleh sebuah Konferensi Uskup untuk wilayahnya, harus dihadapkan kepada Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen untuk diberi recognitio. Tanpa recognitio itu, semua norma itu tidak mempunyai kekuatan hukum.
29. Para Imam sebagai pembantu yang sah, bijaksana dan perlu dari para Uskup, dipanggil untuk melayani Umat Allah. Mereka bersatu dengan Uskup dalam imamat, sekalipun diberi tugas-tugas yang berbeda-beda. "Di masing-masing jemaat setempat, mereka dalam arti tertentu menghadirkan Uskup, yang mereka dukung dengan semangat percaya dan kebesaran hati. Sesuai dengan jenjangnya, mereka ikut mengemban tugas serta keprihatinan Uskup dan ikut menunaikannya dengan tekun setiap hari. Dan "karena keterlibatan dalam Imamat dan perutusan itu, hendaklah para Imam memandang Uskup sebagai bapa mereka dan mematuhinya dengan penuh hormat." Selain itu, "karena peduli akan apa yang menguntungkan anak-anak Allah, hendaklah mereka berusaha untuk turut memperhatikan karya pastoral seluruh diosis, bahkan seluruh Gereja".
30. Jabatan "yang dipangku oleh para Imam khususnya dalam perayaan Ekaristi "sungguh agung, "karena menjadi tanggung jawab mereka untuk memimpin Ekaristi selaku pribadi Kristus (in persona Christi) seraya menjadi saksi serta pelayan suatu persekutuan bukan hanya untuk komunitas yang secara langsung mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi tertentu, tetapi juga untuk Gereja Universal, yang kehadirannya selalu dialami dalam perayaan Ekaristi. Patut disesalkan bahwa, terutama selama tahun-tahun yang menyusul pembaruan liturgi pasca Konsili ? diakibatkan oleh semangat kreativitas dan praktek adaptasi yang keliru ? terjadilah sejumlah penyelewengan, yang mengakibatkan penderitaan untuk banyak orang. "
31. Sambil menepati janji resmi yang telah mereka ucapkan dalam upacara Pentahbisan Suci dan yang mereka ulangi setiap tahun pada kesempatan Misa Krisma, kiranya para Imam merayakan dengan hormat dan setia misteri-misteri Kristus sebagai pujian bagi Allah dan pengudusan umat Kristiani seturut tradisi Gereja, khususnya dalam Kurban Ekaristi dan dalam Sakramen Rekonsiliasi. Janganlah mereka mengurangi arti yang begitu mendalam dari jabatannya sendiri dengan merusak perayaan liturgis entah dengan mengadakan perubahan, entah dengan menghilangkan bagian-bagian tertentu, entah dengan menyisip penambahan yang bebas. Karena, seperti perkataan St. Ambrosius: "Bukannya dalam dirinya sendiri melainkan dalam diri kitalah Gereja dilukai. Maka mari kita jaga supaya jangan Gereja dilukai karena kegagalan kita". Maka janganlah Gereja Allah dilukai oleh Imam-Imam yang dengan cara agung telah membaktikan diri kepada pelayanan. Malah sebaliknya, semoga, dipimpin oleh Uskup, mereka dengan tak lelah berusaha menghindarkan orang lain juga dari kesimpang-siuran itu.
32. Pastor Paroki hendaknya mengusahakan agar Ekaristi mahakudus menjadi pusat jemaat parochial kaum beriman; hendaknya ia berikhtiar agar kaum beriman kristiani digembalakan dengan perayaan khidmat Sakramen-Sakramen, dan secara khusus agar mereka sering menerima Sakramen Ekaristi Mahakudus dan Sakramen Pertobatan; hendaknya ia juga berupaya agar mereka dibimbing untuk mengadakan doa juga dalam keluarga dan dengan sadar serta aktif mengambil bagian dalam Liturgi Suci yang harus diatur oleh Pastor Paroki di parokinya di bawah otoritas Uskup diosesan; ia wajib menjaga agar jangan terjadi penyelewengan. Walaupun dengan sepantasnya dalam persiapan-persiapan upacara liturgi ia dibantu oleh berbagai anggota umat beriman, namun ia sama sekali tidak boleh menyerahkan kepada mereka hal-hal yang secara khas menyangkut jabatannya sendiri.
33. Akhirnya, semua "Imam harus berusaha untuk mengembangankan pengetahuannya serta keterampilannya di bidang liturgi demikian rupa sehingga melalui pelayanan liturgis mereka", Allah Bapa, Putra dan Roh kudus di puji dengan semakin sempurna oleh jemaat-jemaat kristiani yang dipercayakan kepada mereka, Terutama, semoga mereka dipenuhi dengan rasa kagum dan gembira yang timbul dalam hati kaum beriman pada perayaan Misteri paskah dalam Ekaristi.
34. Kepada para Diakon "ditumpangkan tangan bukanya supaya mereka menerima imamat melainkan untuk menjadikan mereka pelayan", sebagai orang yang berkelakuan baik, mereka harus bertindak sedemikian rupa sehingga dengan bantuan Allah mereka dapat dikenal sebagai murid-murid sejati dari dia "yang datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani", dan yang berada ditengah-tengah para muridnya "sebagai seorang yang melayani" dikuatkan oleh karunia Roh kudus yang telah mereka terima melalui penumpangan tangan, mereka ditentukan untuk melayani umat Allah, dalam persatuan dengan uskup dan para imamnya, Karena itu pun mereka harus memandang uskup sebagai seorang bapak dan mendampingi dia serta pada imam "dalam pelayanan sabda, altar dan amal kasih".
35. Jangankah mereka mengabaikan, sesuai perkataan sang Rasul, untuk "memelihara rahasia iman dalam hati nurani yang suci, dan mewartakan iman itu dengan perkataan dan karya sesuai dengan injil serta tradisi Gereja", dalam semangat pelayanan sepenuh hati, setia dan rendah hati terhadap Liturgi Suci sebagai sumber dan puncak hidup Gerejani, "sehingga semuanya yang melalui iman dan baptisan dijadikan anak-anak Allah, boleh bersatu seraya memuji Allah di tengah Gereja, untuk mengambil bagian dalam kurban dan menyantap perjamuan Tuhan", Maka hendaknya semua Diakon. menurut peranannya, berusaha agar Liturgi Suci dirayakan sesuai dengan penetapan-penetapan buku-buku liturgi yang telah disahkan.
36. Perayaan Misa, sebagai karya Kristus serta Gereja, merupakan pusat seluruh hidup kristiani, baik untuk Gereja universal maupun untuk Gereja partikular, dan juga untuk tiap-tiap orang beriman, yang terlibat didalamnya "pada cara-cara yang berbeda-beda sesuai dengan keaneka-ragaman jenjang, pelyanan dan partisipasi nyata," Dengan cara ini umat kristiani, "bangsa terpilih, imamat, rajawi, bangsa yang kudus, miliki Allah sendiri", menunjukan jenjang-jenjangnya menurut susunan hirarki yang rapih. "Karena imamat kaum beriman dan imamat misterial atau hiraskis sekalipun berbeda menurut intinya dan bukan hanya menurut tingkatanya-tertuju satu sama lain, karena keduanya, pada caranya sendiri, mengambil bagian dalam imamat tunggal Kristus".
37. Seluruh umat beriman, dibebaskan dari dosa-dosanya dan dijadikan bagian dari Gereja melalui pembaptisan, ditentukan, melalui materai sacramental, akan pelaksanaan ibadat suci menurut agama kristiani demikian rupa sehingga berdasarkan imamat rajawi itu, sambil bertekun dalam doa dan pujian kepada Allah, mereka dapat mempersembahkan diri sebagai persembahan yang hidup dan kudus, yang berkenan kepada Allah-hal yang dibuktikan kepadan orang lain karma karya-karyanya, sambil memberi kesaksian tentang Kristus diseluruh bumi dan memberikan suatu jawaban kepada orang yang bertanya tentang harapan akan hidup abadi yang ada pada diri mereka, Maka itu partisipasi kaum beriman awam pun dalam Ekaristi dan dalam perayaan-perayaan Gerejani lain, tidak boleh merupakan suatu kehadiran melulu, apalagi suatu kehadiran pasif, melainkan sebaliknya harus sungguh dipandang sebagai suatu ungkapan dan kesadaran akan martabat pembaptisan.
38. Oleh sebab itu ajaran yang dipegang teguh oleh Gereja tentang makna Ekaristi bukan saja sebagai perjamuan melainka juga bahkan terutama sebagai kurban, dengan setepatnya dilihat sebagai salah satu pintu masuk utama bagi semua orang beriman akan partisipasi penuh dalam Sakramen sebesar ini. "Karena, bila dilucuti dari segi kurban, maka misteri ini hanya diartikan dan dipentingkan tidak lebih daripada sebuah perjamuan persaudaraan".
39. Demi memajukan dan memperjelas partisipasi aktif, maka dalam pembaharuan buku-buku litrugi yang sesuai dengan ikhtiar konsili dicanangkan belum lama ini, dicantumkan aklamasi?aklamasi oleh umat, jawaban-jawaban tertentu, lagu-lagu mazmur, antiphon dan kidung, selain itu pun diberi perhatian kepada gerak gerik dan aksi tertentu juga disediakan rubric-rubrik untuk peranan umat, sSelain itu diberi banyak kemudahan untuk kreaktivitas yang tepat, yang tujuannya ialah penyesuaian setiap perayaan pada kebutuhan para hadirin, pada pengertian mereka, persiapan batin dan bakatnya:semuanya dalam batas norma-norma liurgi yang berlaku, Dalam pilihan lagu-lagu serta doa-doa dan bacaan-bacaan, melalui homili, persiapan doa umat, penjelasan-penjelasan yang sewaktu-waktu dapat diberikan, dan melalui dekorasi gedung gereja sesuai dengan masa, maka tersedialah peluang yang luas untuk memasukan pada seitap perayaan sekedar variasi, melalui kekayaan tradisi litrugi pun menjadi lebih terang, dan dengan cara itu sambil berpegang pada tuntunan-tuntunan pastoral perayaan akan dengan penuh perhatian diresapi unsur-unsur khas yang akan menunjang penghayatan oleh para hadirin. namun demikian, perlu diingat bahwa daya perayaan-perayaan liturgis bukannya berasal dari mengubah-ngubahkan tata cara sesering mungkin, melainkan dari penghayatan yang makin mendalam akan sabda Allah dan misteri yang sedang dirayakan.
40. Akan tetapi, meskipun perayaan liturgis menuntut partisipasi aktif semua umat beriman, belum tentu berarti bahwa setiap orang harus melakukan suatu kegiatan konkrit lain di samping tindakan dan gerak-gerik umum, seakan-akan setiap orang wajib melaksanakan satu tugas khusus dalam perayaan liturgi. Sebaliknya, melalui instruksi kateketis harus diusahakan dengan tekun untuk memperbaiki pendapat-pendapat serta praktek-praktek yang dangkal itu, yang selama beberapa tahun akhir-akhir ini sering terjadi, Katekese yang benar akan menanam kembali dalam hati seluruh umat kristiani kekaguman akan mulianya serta agungnya misteri iman, yakni Ekaristi itu, Dalam perayaannya, Gereja senantiasa beralih "dari apa yang lama kepada yang baru" Karena dalam perayaan Ekaristi, seperti dalam seluruh hidup kristiani yang mendapat kekuatannya daripadanya dan sekaligus tertuju kepadanya, Gereja, sesuai dengan teladan Santo Thomas, merebahkan diri sambil sembah sujud dihadapan tuhan yang telah di salibkan, menderita dan wafat, dimakamkan dan bangkit, maka Gereja itu dengan tak berhenti-henti mengeluk-elukan Dia yang dikenai dandanan kecermelangan ilahi sambil berseru:"Ya Tuhan dan Allahku"
41. Ibadat harian yang didoakan terus menerus dalam kalangan yang luas, dan juga pemanfaatan sakramentali-sakramentali dan acara-acara devosional yang laku di kalangan umat, sangat menunjang, memupuk dan memperdalam pengertian batin terhadap partisipasi liturgis itu, Acara-acara devosional yang lazim dijalankan oleh umat itu, "memang bukannya liutrgi dalam arti yang sebenarnya, namun pada caranya sendiri penting dan luhur", Acara-acara itu harus ditinjau dari segi kaitannya dengan liturgi, terutama bila telah dipuji dan dianjurkan oleh pimpinan Gereja sendiri, seperti khususnya dengan Rosario St. Perawan Maria. Selanjutnya, mengingat ketekunan dalam menjalankan devosi-devosi ini mengantar umat kristiani baik akan menerima sakramen-sakramen - teristimewa Ekaristi - maupun "akan permenu-ngan tentang misteri-misteri Penebusan kita dan akan meneladan para kudus di surga, maka devosi-devosi ini sungguh mempunyai dampak positif untuk partisipasi kita dalam ibadat liturgis."
42. Kita menyadari bahwa Gereja telah terbentuk bukan atas kehendak manusia, melainkan ia telah dipanggil berkumpul oleh Allah dalam Roh Kudus dan melalui imannya, ia menjawab panggilan itu (istilah ekklesia mempunyai kaitan dengan kelsis berarti "panggilan"). Juga kurban Ekaristi tidak boleeh dipandang sebagai suatu "konsllebrasi" dalam arti sebuah perayaan imam bersama umat yang hadir, sebaliknya, Ekaristi yang dirayakan oleh para imam, "merupakan suatu karunia yang secara mutlak tidak dapat digapai oleh daya komunitas Kristiani?. Komunitas ynag berkumpul untuk perayaan Ekaristi membutuhkan seorang yang telah ditahbiskan imam; dia ittu memimpin peryaaan itu, dan hanya dengan demikian terjadilah suatu perkumpulan Ekaristi yang benar, Dari segi lain, komunitas itu dari dirinya sendiri tidak dapat memajukan seorang pelayan tertahbis". Sungguh dibutuhkan kemauan bersama untuk menghindarkan segala kebingunggan dalam hal ini dan mengobati kesulitan-kesulitan yang muncul sejak beberapa tahun terakhir, Maka ungkapan-ungkapan sepert i"komunitas yang berselebrasi" atau "perkumpulan yang berselebrasi" (dalam beberapa bahasa lain; "celebrating assembly", "assemblea celebrante", "assemblee celebrante", "assemblea celebrante") dan kata-kata sejenis jangan dipergunakan sembarangan.
43. Demi manfaatnya umat setempat maupun seluruh Gereja Allah, maka dalam rangka perayaan Liturgi Suci ada diantara kaum Awam yang, sesuai dengan tradisi, di percayai pelayanan-pelayanan yang dilaksanakan dengan tepat dan dengan cara yang patut di puji, Sangat tepatlah jika ada lebih banyak orang yang membagi diantara mereka serta melaksanakan berbagai tugas atau bagian-bagian pelyanan.
44. Selain pelayan-pelayan gerejani sejak dahulu kala, yakni jabatan akolit dan lektor, maka diantara semua pelayanan khusus itu ada Akolit dan Lektor dengan penugasan sementara waktu, Ada fungsi-fungsi lain pula, yag digambarkan dalam Misale Romawi, dan juga pelayanan-pelayanan seperti misalnya mempersiapkan Hosti, mencuci kain-kain liturgis dll, Semuanya, "baik pelayanan-pelayanan tertahbis maupun orang awam, sambil melaksanakan pelayananya atau tugasnya, harus membatasi diri pada tugas tsb, dan melaksankannya dengan sepenuhnya". Baik pada saat upacara liturgis sedang berlangsung maupun dalam persiapanya, mereka hendaknya membuat apa yang perlu demi pelaksanaan Liturgi Gereja secara layak dan tepat.
45. Perlulah dihindarkan suatu bahaya ialah bahwa hubungan komplementer antara karya klerus dan karya orang awam dijadikan kabur, dalam arti bahwa pelayanan kaum awam dapat mengalami semacam "klerikalisasi", sedangkan pelayan tertahbis dengan tidak tepat akan melaksanakan hal-hal yang menjadi bagian khas dari kehidupan dan kegiatan kaum beriman awam.
46. Orang awam kristiani yang dipanggil untuk membantu dalam pelaksanaan upacara Liutrgis, hendaklah dilatih dengan baik, Tidak boleh ada kesangsian tentang hidup dan moral kristiani mereka serta kesetian mereka kepada ajaran Gereja, Pantaslah orang yang demikian diberi pembinaan liturgis sesuai dengan umurnya, situasi dan status hidupnya serta budaya religiusnya, Jangan diangkat orang untuk tugas demikian jika petunjuknya menimbulkan keributan dikalangan umat.
47. Sangat dianjurkan untuk memperahankan kebiasaan yang luhur yakni pelayanan altar oleh anak-anak laki-laki atau pemuda-biasanya disebut ajuda atau pelayan Misa, suatu tugas yang dilaksankannya seturut cara para akolit, Hendaknya katekese tentang fungsi mereka sesuai dengan daya tangkap mereka. Perlu diingat berabad-abad lamanya dari amat banyak anak sepereti ini telah muncul banyak pelayan tertahbis. Hendaknya didirikan atau dipromosikan bagi mereka perkumpulan-perkumpulan, dalamnya keikutsertaan pendampingan oleh orang tua, supaya dengan demikian pula pastoral untuk para pelayan ditingkatkan, Bila perkumpulan-perkumpulan yang demikian bersifat internasional, maka menjadi kompetensi Kongregasi Ibadat dan tata tertib Sakramen untuk mendirikannya atau untuk menyutujui atau merevisikan statusnya. Gadis-gadis atau ibu-ibu pun boleh diterima untuk melayani altar, sesuai dengan kebijakan Uskup diosesan dan dengan memperhatikan norma-norma yang sudah ditetapkan.
48. Roti yang dipergunakan dalam perayaan Kurban Ekaristi Maha Kudus harus tak beragi, semuanya dikerjakan dari tepung dan segar, sehingga menghindari bahaya dari basi, Karena itu roti yang dibuat dari bahan lain, dari gandum atau yang dicampur dengan suatu bahan yang bukan tepung demikian rupa sehingga orang tidak lagi memandang itu sebagai roti, tidak merupakan bahan sah untuk dipergunakan pada perayaan kurban dan sakramen Ekaristi, Adalah pelanggaran berat untuk memasukan bahan lain ke dalam roti untuk Ekaristi itu, misalnya buah-buahan atau gula atau madu, tentu saja hendaknya hosti-hosti dikerjakan oleh orang yang bukan hanya menyolok Karena kesalehannya tetapi juga terampil dalam hal mengerjakan seraya diperlengkapi dengan peralatan yang sesuai.
49. Sesuai dengan makna tanda, sepantasnya pada saat komuni sekurang-kurangnya beberapa bagian dari Roti Ekaristi yang dihasilkan oleh pemecahan Roti, dibagikkan kepada sedikitnya beberapa orang beriman, "Namun tidak keberatan untuk mempergunakan hosti-hosti kecil jika dituntut oleh banyak orang yang ingin menyambut komuni Suci atau oleh suatu kebutuhan pastoral lain", bahkan dalam banyak kesempatan sudah lazim dipergunakan potongan-potongan hosti kecil.
50. Anggur yang dipergunakan dalam perayaan Kurban Ekaristi yang Maha kudus itu harus alamiah, berasal dari buah anggur, murni dan tidak masamdan tidak dicampur dengan bahan lain, Dalam perayaan ini, sedikit air akan dicampur dengannya, Perlu diperhatikan dengan seksama agar anggur yang hendak dimanfaatkan untuk perayaan Ekaristi itu tersimpan baik dan tidak menjadi masam, sama sekali tidak diizinkan untuk mempergunakan anggur yang keasliannya atau asalnya diragukan, karena sebagai persyaratan menuntut kepastian, tidak juga diperbolehkan minuman jenis lain apa pun dan demi apa pun, Karena minuman itu bukanlah bahan sah.
51. Sebagai Doa syukur Agung hanya boleh dipakai teks yang terdapat dalam Misale Romawi atau yang telah di sahkan oleh Takhta Apostolik, dan dalam hal ini hanya sesuai dengan cara serta persyaratan yang ditentukan olehnya, "Tidak ada toleransi terhadap Imam-Imam yang berhak menyusun Doa Syukur Agungnya sendiri" atau mengubah teks-teks yang telah disahkan oleh Gereja atau memperkenalkan teks-teks lain, yang telah dikarang oleh pribadi-pribadi tertentu.
52. Menjadi tugas khas sang Imam, berdasarkan pentahbisannya, untuk mengucapkan Doa Syukur Agung itu, yang ada pada kodratnya adalah puncak seluruh perayaa, Karena itu sungguh merupakan kesalahan besar jika Doa Syukur Agung dibawakan demikian rupa sehingga bagian-bagian tertentu dari Doa itu diucapkan oleh seorang diakon atau seorang pelayan awam atau seorang pribadi di antara umat atau oleh seluruh umat bersama-sama, Jadi Doa Syukur Agung itu harus dengan selengkapnya diucapkan hanya oleh Imam.
53. Sementara imam mengucapkan Doa Syukur Agung, "Jangan diadakan doa-doa lain atau pun nyanyian; organ dan alat musik lain pun harus diam", yang dapat diterima hanyalah aklamasi-aklamasi umat sejauh diakui, menurut apa yang hendak dijelaskan dibawah ini.
54. Sebenarnya umat selalu terlibat secara pasif saja; karena sambil berdiam diri mereka bergabung dengan imam dalam iman dan juga melalui seruan-seruan selama Doa Syukur Agung sesuai dengan petunjuk-petunjuk, yakni pada dialog awal prefasi, dalalm Sanctus, dalam aklamasi sesudah konsekrasi dan dengan seruan "Amin" pada akhir doksologi penutup, dan juga melalui semua aklamasi lain yang disahkan oleh konfernsi Uskup dan juga disetujui oleh Takhta Suci"
55. Di beberapa tempat terjadillah pelanggaran ketika imam memecahkan hosti pada saat konsekrasi dalam Misa Kudus. Perbuatan ini bertentangan dengan Tradisi Gereja, Maka itu dinyatakan salah dan kebiasaan itu harus segera ditiadakan.
56. Tidak boleh dihilangkan kebiasaan untuuk menyebuit nama Sri Paus dan nama Uskup diosesan dalam Doa Syukur Agung, Karena ini merupakan suatu Tradisi sejak dahulu kala dan harus dpertahankan, sekaligus menjadi pengungkapan persekutuan Gereja, karena "orang yang berkumpul untuk Perayaan Ekaristi sekaligus bergabung dengan Uskupnya dan dengan Paus di Roma".
57. Persekutuan umat beriman berhak, khususnya dalam perayaan Hari Minggu, agar pada umumnya dimeriahkan dengan musik Rohani yang benar dan pantas; juga dilengkapi dengan sebuah altar, paramen-paramen dan kain-kain yang pantas, indah dan bersih, sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
58. Demikian pula seluruh umat beriman berhak untuk mengalami suatu perayaan Ekaristi yang dari segala seginya telah disiapkan dengan demikian seksama, sehingga sabda Allah diwartakan serta dijelaskan secara tepat-guna; juga penentuan teks-teks dan tata-cara liturgi-sejauh dapat bervariasi-harus dilaksanakan dengan penuh perhatian dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku; selain itu perlu di jaga agar iman umat diteguhkan serta dikembangkan melalui kata-kata yang di nyanyikan dalam perayaan liturgi.
59. Di sana-sini terjadilah bahwa imam, Diakon atau umat dengan bebas mengubahkan atau menggantikan teks-teks Liturgi suci yang harus mereka bawakan, Praktek yang tidak baik ini harus berhenti, Karena dengan berbuat demikian, perayaan Liturgi Suci digoyahkan dan tidak jarang arti asli Liturgi dibengkokkan.
60. Dalam perayaan Misa, Lturgi Sabda serta Liturgi Ekaristi mempunyai hubungan erat satu sama lain dan merupakn suatu ibadat yang terpadu, Karena itu tidak diizinkan memisahkan satu dari yang lain dan merayakan dua-duanya pada waktu atau tempat yang berbeda, Tidak juga diizinkan bagian-bagian tertentu dalam Misa dilaksankan terpisah pada jam berbeda dalam hari yang sama.
61. Unutk memilih bacaan-bacaan Kitab Suci dalam perayaan Misa, harus dituruti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam buku-buku Liturgi, agar supaya bagi umat "Sabda Allah akan disajikan dengan cara lebih limpah dan harta kekayaan kitab suci dibuka bagi mereka"
62. Tidak juga diperkenankan meniadakan atau menggantikan bacaan-bacaan Kitab suci yang sudah ditetapkan, atas inisiatif sendiri, apalagi "menggantikan bacaan atau mazmur Tanggapan yang berisikan firman Allah, dengan teks-teks yang bukan dari Kitab suci".
63. Seturut tradisi dalam perayaan Liturgi Suci, pembacaan Injil, yang adalah "puncak Liturgi Sabda", harus dibawakan oleh seorang yang tertahbis. Maka seorang awam, bahkan seorang Biarawan/Biarawati sekalipun, tidak diperkenankan membawakan bacaan injil dalam Perayaan Misa Kudus, tidak juga dalam upacara-cara lain kecuali bila dengan jelas diizinkan oleh norma-norma.
64. Homili yang diberikan dalam rangka perayaan Misa Kudus, dan yang merupakan bagian utuh dari Liturgi itu, pada umumnya akan dibawakan oleh imam yang memimpin Misa itu sendiri, ia boleh menyerahkan tugas itu kepada seorang imam konselebran atau-tergantung dari situasi sewaktu-waktu kepada seorang Diakon, tetapi tidak pernah kepada seorang awam. dalam situasi khusus dan karena alasan yang wajar, homili pun boleh dibawakan oleh seorang Uskup atau imam yang hadir pada perayaan itu tetapi tidak dapat ikut berkonselebrasi.
65. Perlulah diingat bahwa norma apa pun yang di masa silam menginzinkan orang yang beriman tak tertahbis membawakan homili dalam perayaan Ekaristi, harus dipandang sebagai batal berdasarkan norma kanon 767 ? 1. Praktek ini sudah dibatalkan dan karenanya tidak bisa mendapat pembenaran berdasarkan kebiasaan.
66. Larangan terhadap orang awam untuk berkhotbah dalam Misa, berlaku juga untuk para seminaris, untuk mahasiswa teologi dan untuk orang yang telah diangkat dan dikenal sebagai "asisten pastoral"; tidak boleh ada kekecualian untuk oarang awam lain, atau kelompok, komunitas atau perkumpulan apa pun.
67. Perlulah diperhatikan secara khusus, agar homili itu sungguh berdasarkan misteri-misteri pnebusan, dengan menguraikan misteri-misteri iman serta patokan hidup Kristiani, bertitik-tolak dari bacaan-bacaan Kitab Suci serta teks-teks liturgi sepanjang tahun liturgi, dan juga memberi penjelasan tentang bagian umum (Ordinarium) maupun bagian khusus (Proprium) dalam misa ataupun suatu perayaan gerejani lain. Sudah tentu segala interpretsi Kitab Suci harus bertitik-tolak dari Kristus sendiri, sebagai penanggungan seluruh karya keselamatan, sekalipun hal ini hendaknya dibuat di bawah sorotan khusus perayaan liturgi tertentu. Dalam homili yang hendak dibawakan, perlulah diperhatikan agar hidup harian umat disinari terang Kristus, Namun hal ini harus dilakukan demikian rupa sehingga tidak mengaburi sabda Allah yang benar dan tak tergoyangkan, dengan misalnya hanya membahas masalah politik atau pokok-pokok duniawi belaka, atau dengan menimba inspirasi dari aliran-aliran religius semu.
68. Uskup diosesan harus dengan seksama menilik pembawaan homili. Ia pun harus mengumumkan norma-norma serta mengedarkan petunjuk-petunjuk serta bantuan kepada pelayan tertahbis, juga mempromosikan pertemuan-pertemuan dan upaya lain dengan tujuan tsb, sehingga mereka berkesempatan memperhatikan makna sebuah homili dengan lebih saksama serta tertolong dalam mempersiapkan diri untuk itu.
69. Dalam Misa kudus dan juga dalam perayaan-perayaan liturgis lain jangan dipergunakan Credo atau pernyataan iman yag tidak terdapat dalam buku-buku liturgi yag telah disahkan,
70. Bahan persembahan yang biasanya disiapkan oleh umat beriman Liturgi Ekaristi Misa Kudus, belum tentu terbatas saja pada roti dan anggur untuk perayaan ekaristi tersebut, tetapi boleh juga merupakan pemberian yang disediakan oleh kaum beriman dalam bentuk uang atau bahan tertentu untuk dibagikan kepada orang miskin. Selain itu, pemberian-pemberian lahiriah harus selalu merupakan ungkapan yang kelihatan dari persembahan sejati yang diharapkan Allah ialah: hati yang remuk-redam, cinta akan Allah dan sesama, melaluinya kita bergabung dengan kurban Keristus, yang mempersembahkan diri-Nya, bagi kita. Karena dalam Ekaristi, dengan paling cemerang bersinarlah misteri cinta kasi yang Yesus tunjukkan ketika pada Perjamuan Malam Terakhir Ia membasuh kaki murid-murid-Nya.
Demi menjaga keagungan Lihat Suci, persembahan-persembahan jasmaniah hendaknya diantar ke depan dengan suatu cara yang pantas. Karena itu uang dan sumbangan-sumbangan lain untuk orang miskin hendaknya ditaruh di suatu tempat yang sesuai, tetapi di luar meja Ekaristi. Kecuali uang dan sewaktu-waktu suatu bagian kecil dan simbulis dari pemberian-pemberian lain, sebaiknya persembahan-persembahan yang demikian yang dibuat di luar rangka perayaan Misa.
71. Perlulah mempertahankan kebiasaan seturut Ritus Romawi, untuk saling menyampaikan salam damai menjelang komunis. Sesuai tradisi Ritus Romawi, kebiasaan ini bukanlah dimakmau menyatakan damai, persekutuan dan cinta sebelum menyambut Ekaristi yang Mahakudus. Segi rekonsiliasi antara umat yang hadir, lebih-lebih terungkapkan dalam acara pertobatan pada awal Misa, khususnya menurut rumus pertama.
72. "Salam damai hendaknya diberikan setiap orang hanya kepada mereka yang terdekat dan dengan suatu cara yang sederharna". "Imam boleh memberikan salam damai kepada para pelayan, namun tidak akan meninggalakan panti imam agar jalannya perayaan jangan terganggu. Demikian pula jika karena alasan yang tepat ia ingin memberikan tanda salam damai kepada beberapa diantara umat". "Corak ucapan salam damai hendaklah ditetapkan oleh Konferensi Uskup agar sesuai dengan selera serta kebiasaan masyarakat setempat"; penetapan itu membutukan recognitio dari Takhta Apostolik.
73. Dalam perayaan Misa Kudus, pemecahan roti Ekaristi ? yang dibuat hanya oleh Imam, namun jika perlu dengan bantuan seorang Diakon atau seorang imam konselebran ? mulai sesudah ucapan salam damai, yakni pada waktu Agnus Dei. Pemecahan roti yang "dilaksanakan oleh Kristus pada kesempatan Perjamuan Malam yang Terakhir, di masa para rasul menjadi sebutan yang dipakai untuk seluruh pelaksanaan Ekaristi. Acara ini menandai bahwa kaum beriman, sekalipun banyak, namun menjadi satu Tubuh dalam persekutuan Roti Kehidupan yang satu itu yang adalah Kristus sendiri yang mati dan bangkit untuk keselamatan dunia" (bdk. 1 Kor 10:17). Karena alasan ini, acara ini harus dilangsungkan dengan hormat besar, namun tidak boleh makan waktu yang lama. Di sana-sini terjadi penyelewengan yakni acara diperpanjang lebih daripada perlu dan diberi tekanan yang tidak tepat; dan juga terjadi bahwa ? berlawanan dengan peraturan ? orang awam membantu dalam pemecahan ini. Penyelewengan-penyelewengan terhadap peraturan yang berlaku ini, hendaknya diperbaiki secepatnya.
74. Jika dipandang perlu bahwa kepada yang terkumpul di dalam gereja, diberi instruksi atau kesaksian tentang hidup Kristiani oleh seorang awam, maka sepatutnya hal ini dibuat di luar Misa. Akan tetapi, jika ada alasan berat, maka dapat dizinkan bahwa suatu instruksi atau kesaksian yang demikian disampaikan sesudah Doa Penutup. Namun, hal ini tidak boleh menjadi kebiasaan. Selain itu, instruksi atau kesaksian itu tidak boleh bercorak seperti sebuah homili. Dan tidak boleh homili dibatalkan karena ada acara dimaksud.
75. Karena alasan teologis yang berkaitan dengan perayaan Ekaristi atau dengan satu ritus yang khusus, maka buku-buku liturgi kadang-kadang menetapkan ataupun mengizinkan penggabungan Misa Kudus dengan suatu ritus lain, khususnya berkaitan dengan Sakramen-Sakramen. Akan tetapi suatu penggabungan yang demikian dalam hal atau situasi lain, tidak diizinkan Gereja Roma, terutama jika ini berkisar pada hal-hal sepele.
76. Selain itu, sesuai dengan suatu tradisi dalam Gereja, Roma sejak dahulu kala, tidak diizinkan menggabungkan Sakramen Pertobatan dengan Misa demikian rupa, Sehingga keduanya menjadi hanya satu perayaan liturgis. Namun Imam-Imam yang tidak sedang turun dalam konselebrasi Misa, boleh mendengar pengakuan kaum beriman yang ingin mengaku dosa demi memenuhi kebutuhan merekah, sekalipun di tempat di mana Misa sedang di rayakan. Akan tetapi hal ini hendaklah dibuat dengan cara yang sesuai.
77. Perayaan Misa sama sekali tidak boleh disisip dalam suatu perjamuan biasa yang sedang berlangsung, tidak juga boleh digabungkan dengan perjamuan yang demikian. Tanpa alasan yang berat Misa tidak boleh dirayakan pada sebuah meja makan biasa atau dalam sebuah ruang makan atau ruang pesta, tidak juga dalam sebagaimana, selama perayaan dimaksud, para hadirin sedang duduk pada meja-meja. Jika, karena alasan berat, Misa dirayakan di suatu tempat di mana kemudian diadakan juga perjamuan biasa, maka perlulah diadakan suatu jarak wakatu secukupnya di atara penutupan Misa dan awal perjamuan itu, dan janganlah makanan sudah ditempatkan di depan para peserta Misa masi berlangsung.
78. Tidak Diizinkan mengaitkan perayaan Misa dengan peristiwa-peristiwa profan atau duniawi atau mengaitkannya dengan situasi-situasi yang tidak dengan sepenuhnya sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Juga perlu dihindarkan suatu Perayaan Ekaristi yang hanya dilangsungkan sebagai pertunjukan atau menurut gaya upacara-upacara lain, termasuk upacara-upacara profan: agar Ekaristi tidak akan kehilangan artinya yang otentik.
79. Akhirnya, termasuk juga suatu penyelewengan jika ke dala acara Misa Kudus dimasukkan unsur-unsur yang berlawanan dengan peraturan yang termuat dalam buku-buku liturgi dan diambil dari tata cara agama-agama lain.
80. Ekaristi harus disediakan bagi umat beriman, antara lain "sebagai penangkal, melaluinya kita dibebaskan dari kesalahan-kesalahan sehari-hari, dan dihindarkan dari dosa berat", sebagai mana terungkap dalam beberapa bagian Misa. Adapun Pernyataan Tobat pada awal Misa dimaksudkan untuk menyiapkan para hadirin untuk merayakan misteri suci ini; akan tetapi "acara tidak membuahkan hasil sama seperti Sakramen Pertobatan", dan tidak dapat dipandang sebagai pengganti Sakramen Pertobatan untuk memberi ampun atas dosa-dosa berat. Para gembala jiwa hendaknya memperhatikan bahwa tentang hal ini diadakan katekese yang tepat, sehingga diteruskan kepada umat beriman ajaran Kristiani yang benar.
81. Kebiasaan Gereja sejak dahulu kala menunjukkan bahwa setiap orang harus memeriksa batinnya dengan mendalam, dan bahwa setiap orang yang sadar telah melakukan dosa berat tidak boleh menyambut Tubuh Tuhan kalau tidak terlebih dahulu menerima Sakramen Tobat, kecuali jika ada alasan berat dan tidak tersedialah kemungkinan untuk mengaku dosa; dalam hal itu ia harus membuat doa tobat sempurna, dan dalam doa ini dengan sendirinya tercantumlah maksud untuk mengaku dosa secepat mungkin.
82. Selain itu, "Gereja sudah menetapkan norma-norma yang tujuannya ialah partisipasi yang sering dan subur dalam Perjamuan Ekaristi. Norma-norma itu sekaligus menentukan kondisi dan situasi obyektif bila Komuni tidak boleh diterimakan".
83. Pasti paling tepatlah jika semuanya yang mengambil bagian dalam perayaan Misa Kudus - dengan disposisi yang perlu - menyambut Komuni. Akan tetapi kadang-kadang terjadi bahwa umat beriman mendekati altar sebagai suatu rombongan tanpa keyakinan pribadi. Adalah kewajiban para Pastor untuk dengan bijaksana namun dengan tegas juga memperbaiki penyelewengan yang demikian.
84. Selain itu, bila Misa dirayakan untuk suatu himpunan besar - misalnya dalam kota-kota besar - harus diperhatikan jangan-jangan - karena tidak tahu - ada orang yang bukan Katolik atau malah bukan Kristen, maju ke depan untuk menyambut Komuni Suci, tanpa mengindahkan ajaran dan peraturan Gereja. Para Pastor wajib untuk pada suatu saat yang tepat memberitahukan kepada para hadirin tentang kekhasan peraturan yang harus ditaati.
85. Petugas-petugas Katolik diizinkan menerimakan Sakramen-Sakramen hanya kepada orang Katolik. Dan orang Katolik hanya diizinkan menerimanya pula dari petugas Katolik, kecuali dalam situasi-situasi yang diuraikan dalam kan. 844 ?2, 3 dan 4 dan kan. 861 ?2. Tambahan pula, syarat-syarat yang terdapat dalam kan. 844 ?4, di mana tidak mungkin dapat diberi dispensasi, tak dapat dipandang tersendiri: maka perlulah bahwa semua syarat itu terpenuhi sekaligus.
86. Kiranya ditanam pada umat kebiasaan utnuk menerima Sakramen Tobat di luar perayaan Misa, yakni pada waktu-waktu tenang yang ditetapkan khusus buat itu sehingga sungguh membawa rezeki rohani bagi mereka dan sekaligus mereka tidak dihalangi dari partisipasi aktif dalam Misa. Adapun orang yang sudah biasa untuk sering atau malah setiap hari menyambut Komuni, hendaknya dianjurkan kepada mereka untuk menerima Sakramen Tobat pada waktu-waktu tertentu, sesuai dengan kondisi masing-masing.
87. Komuni Pertama anak-anak harus selalu didahului oleh pengakuan dosa dan absolusi sakramental. Selain itu, Komuni Pertama hendaklah selalu diterimakan oleh seorang Imam dan jangan pernah di luar rangka perayaan Misa. Kecuali jika ada alasan khusus, kurang tepatlah Komuni Pertama dilangsungkan pada Hari Kamis Putih Mengenangkan Perjamuan Tuhan. Hendaklah dipilih suatu hari lain, misalnya sebuah hari Minggu antara Hari Minggu Paskah kedua sampai keenam, atau pada kesempatan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, atau salah satu hari Minggu dalam Misa Biasa, karena sesungguhnya tiap hari Minggu dipandang sebagai hari Ekaristi. "Anak-anak yang belum sampai pada umur beraka budi, dan juga anak-anak yang menurut penilaian Pastor Paroki belum disiapkan dengan secukupnya, " janganlah maju untuk menyambut Ekaristi Kudus. Di mana sebaiknya terdapat seoranganak, walaupun masih amat muda, namun dipandang matang, janganlah dia ditolak untuk menyambut Komuni Pertama, asal saja ia diberi katekese secukupnya.
88. Hendaknya pada umumnya kaum beriman menyambut Komuni dalam Misa yang mereka hadiri itu, yakni pada saat yang ditentukan dalam tata perayaan, ialah segera sesudah komuni Imam. Menjadi tanggung jawab Imam yang memimpin perayaan Misa untuk membagi Komuni, mungkin dibantu oleh Imam-Imam lain atau oleh para Diakon; dan jangan ia melanjutkan acara Misa sebelum selesai pembagian kepada umat itu. Hanya bila sunguh dibutuhkan, pelayan komuni tak lazim boleh membantu Imam sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.
89. Sepatutnya umat beriman diberi kesempatan untuk menyambut hosti yang dikonsekrir dalam Misa itu juga. Tujuannya ialah supaya melalui tanda ini Komuni dengan lebih jelas merupakan partisipasi dalam Kurban yang sedang dirayakan.
90. "Ketika menyambut Komuni, umat hendaknya berlutut atau berdiri, sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Konferensi Uskup", yang keputusannya diberi recognitio oleh Takhta Apolistik. "Tetapi jika Komuni disambut sambil berdiri, maka hendaklah umat memberi suatu tanda hormat sebelum menyambut Sakramen, seturut penetapan yang sama.
91. Perlu diingat bahwa, bila membagi Komuni, "para petugas suci tidak boleh menolak sakramen-sakramen kepada semua orang yang ingin menerimanya dengan suatu cara yang wajar, yang sungguh siap untuk itu dan tidak terhalang oleh hukum untuk menerimanya". Oleh sebab itu, setiap warga Katolik yang tidak terhalang oleh hukum, harus diperbolehkan menyambut Komuni Suci. Maka tidak dapat dibenarkan jika Komuni Suci ditolak kepada siapa pun di antara umat beriman hanya berdasarkan fakta - misalnya - bahwa orang yang bersangkutan mau menyambut Komuni sambil berlutut atau sambil berdiri.
92. Walaupun tiap orang tetap selalu berhak menyambut Komuni pada lidah jika ia menginginkan demikian, namun kalau ada orang yang ingin menyambut Komuni di tangan, di wilayah-wilayah di mana Konferensi Uskup setempat - dengan recognitio oleh Takhta Apostolik - telah mengizinkannya, maka hosti kudus harus harus diberikan kepadanya. Akan tetapi harus diperhatikan baik-baik agar hosti dimakan oleh si penerima itu pada saat masih berada di hadapan petugas Komuni; sebab orang tidak boleh menjauhkandiri sambil membawa Roti Ekaristi di tangan. Jika ada bahaya profanasi, maka hendaknya Komuni Suci tidak diberikan di tangan.
93. Patena Komuni untuk umat hendaknya dipertahankan, demi menghindarkan bahaya jatuhnya hosti kudus atau pecahannya.
94. Umat tidak diizinkan mengambil sendiri - apalagi meneruskan kepada orang lain - Hosti Kudus atau Piala Kudus, Dalam konteks ini harus ditinggalkan juga penyimpangan dimana kedua mempelai saling menerimakan Komuni Suci dalam Misa Perkawinan.
95. Anggota umat awam "yang sudah menerima Ekaristi Maha Kudus, boleh menerimanya lagi pada hari yang sama, namun hanya dalam Perayaan Ekaristi yang dihadirinya sambil memperhatikan penetapan kan. 921? 2".
96. Haruslah ditiadakan kebiasaan untuk sebelum Misa Kudus atau sementara Misa berlangsung, membagi-bagi hosti yang belum dikonsekrir atau bahan lain yang bisa atau tidak bisa dimakan, menurut tata cara Komuni, karena ini berlawanan dengan penetapan-penetapan dalam buku-buku liturgi. Suatu kebiasaan yang demikian sama sekali tidak sesuai dengan tradisi Ritus Romawi, dan membawa serta bahaya yakni membingungkan umat beriman tentang ajaran Gereja mengenai Ekaristi.
Di tempat-tempat tertentu di mana diizinkan suatu kebiasaan khusus yaitu pemberkatan roti sesudah Misa untuk kemudian dibagikan, maka amat perlulah diberi katekese tentang praktek ini. Sebaiknya tidak boleh diadakan praktek-praktek lain yang serupa, dan juga tidak boleh terjadi bahwa hosti-hosti - yang tidak dikonsekrir - dipergunakan untuk maksud ini.
97. Setiap kali seorang Imam merayakan Misa Kudus, ia harus menyambut Komuni seraya berada di Altar dan pada saat yang ditentukan oleh Misale, dan para konselebran pun harus menyambut Komuni sebelum mereka membagikan Komuni. Tidak pernah Imam selebran atau seorang konselebran boleh menunda penerimaan Komuni sendiri sampai selesai Komuni umat.
98. Komuni para Imam konselebran harus dilangsungkan seturut penetapan-penetapan yang terdapat dalam buku-buku liturgi; selalu harus dipergunakan hosti-hosti yang telah dikonsekrir dalam Misa itu juga dan selaku Komuni disambut oleh semua konselebran tanpa mengatakan sesuatu: maksudnya, ia tidak mengucapkan kata-kata "Tubuh Kristus" atau "Darah Kristus".
99. Komuni dalam dua rupa selalu diizinkan "bagi Imam-Imam yang tidak dapat merayakan Misa atau ikut dalam konselebrasi".
100. Agar supaya tanda ini dengan sepenuhnya menjadi lebih jelas bagi umat beriman yang menghadiri Perjamuan Ekaristi, maka umat awam pun diizinkan menyambut Komuni dalam dua rupa, yaitu dalam situasi-situasi yang disebut dalam buku-buku liturgis, asalkan didahului dan tetap disertai katekese yang tepat tentang unsur-unsur dogmatis mengenai hal ini seperti telah ditetapkan oleh Konsili Trente.
101. Untuk melayani Komuni Suci dalam dua rupa kepada anggota awam di antara umat beriman, perlulah memperhatikan baik-baik situasi, yang harus dinilai terlebih dahulu oleh Uskup setempat. Janganlah cara menyambut Komuni ini membawa serta bahaya - betapapun kecilnya - bahwa rupa suci itu dilecehkan. Demi koordinasi di tingkat wilayah, hendaklah Konferensi-Konferensi Uskup mengumumkan keputusan-keputusan itu telah mendapat recognitio dari Takhta Apostolik menyangkut "caranya Komuni Suci dalam dua rupa di bagikan kepada umat dan sejauh apa izin ini dapat diberlakukan"
102. Piala jangan ditawarkan kepada umat beriman bila umat yang ingin menyambut begitu banyak sehingga sukar untuk menentukan banyaknya anggur yang harus disediakan untuk Ekaristi itu dan ada bahaya bahwa " pada akhir perayaan". Hal yang sama berlaku di mana hal minum-dari-piala itu sukar di atur atau di mana banyaknya anggur yang harus disediakan begitu besar, sehingga sukar dikontrol dari mania asalnya dan bagaimana mutunya, ataupun di mana tidak tersedialah dalam jumlah yang memadai petugas-petugas tertahbis atau pelayan-pelayan tak lazim yang sudah terbina baik, ataupun di mana banyak di antara para hadirin - karena berbagai alasan - tidak berniat untuk minum dari piala, karena dalam hal itu Komuni dengan cara ini sebagai lambang persatuan, dalam arti tertentu tidak nampak.
103. Menurut Misale Romawi, pembagian Komuni dalam dua rupa dapat dilaksanakan sebagai berikut : "Darah Tuhan dapat disambut dengan minum langsung dari piala, atau dengan mencelupkan Hosti ke dalam Darah Kristus atau melalui sebuah pipa kecil atau sesbuah sendok". Adapun untuk penerimaan Komuni dalam dua rupa kepada anggota awam di antara umat beriman, para Uskup boleh membatalkan cara menyambut Darah Kristus melalui pipa atau sendok di mana hal ini tidak lazim dibuat, namun tetap ada kemungkinan menyambut melalui pencelupan hosti. Akan tetapi, jika cara itu dipakai, hendaknya dipergunakan hosti-hosti yang tidak terlalu tipis atau terlalu kecil; dan orang yang menyambut itu harus menerima. Sakramen dari Imam yang meletakkannya pada lidah.
104. Umat yang menyambut, tidak bolaeh diberi izin untuk sendiri mencelupkan hosti ke dalam piala; tidak boleh juga ia menerima hosti yang sudah dicelupkan itu pada tangannya. Hosti yang dipergunakan untuk pencelupan itu harus dikerjakan dari bahan sah dan harus sudah dikonsekrir; untuk itu dilarang memakai roti yang belum dikonsekrir atau yang terbuat dari bahan lain.
105. Jika satu piala tidak cukup untuk Komuni dalam dua rupa bagi para Imam konselebran atau bagi umat beriman, maka dapat saja dipergunakan beberapa piala. Maklumlah semua Imam yang merayakan Misa Kudus, wajib menyambut Komuni dalam dua rupa. Dianjurkan - demi tandanya - mempergunakan satu piala utama yang ukurannya agak lebih besar, bersama dengan piala-piala lain yang lebih kecil.
106. Akan tetapi sesudah konsekrasi secara mutlak dilarang segala penuangan Darah Kristus dari piala yang satu ke dalam piala yang lain, demi menghindarkan terjadinya sesuatu yang akan sangat merugikan misteri sebesar ini. Untuk menampung Darah Tuhan, jangan pernah dipergunakanbotol-botol atau bejana-bejana lain yang tidak sesuai dengan norma-norma yang sudah ditetapkan.
107. Sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam kanon-kanon: barang siapa membuang hosti atau anggur suci atau membawa maupun menimpannya untuk tujuan sakrilegi, terkena ekskomunikasi secara otomatis ysang hanya dapat ditiadakan oleh Takhta Apostolik; seorang klerikus, disamping itu, mendapat hukuman tambahan tanpa kecuali dikeluarkan dari ststus klerikal". Haruslah dimasukkan dalam kasus ini setiap perbuatan yang dengan sengaja mau menghina hosti atau anggur suci ini. Maka siapa saja yang bertindak berlawanan dengan norma-norma ini dengan ? misalnya ? membuang hosti dan anggur suci itu ke dalam sakrarium (tempat buangan di sakristi) atau pada suatu tempat yang sudah ditetapkan. Selebihnya hendaknya diingat bahwa, bila pembagian Komuni Suci dalam perayaan Misa telah selesai, penetapan-penetapan Misale Romawi harus dituruti; secara khusus perlu diperhatikan bahwa sisa dari Darah Kristus, harus seluruhnya dan dengan segera diminum oleh Imam atau seorang petugas lain, menurut peraturanyang berlaku; sedangkan hosti-hosti yang tersisa, harus dimakan oleh Imam ataupun dibawa ke tempat yang dimaksud untuk menyimpan Ekaristi.
108. "Perayaan Ekaristi hendaknya dilakukan di tempat suci, kecuali dalam kasus tertentu bila keadaan memaksa lain; dalam hal demikian perayaan harus berlangsung di tempat yang layak". Uskup diosesan akan mengambil keputusan untuk setiap kasus.
109. Melawan hukum jika seorang Imam merayakan Ekaristi di sebuah kuil atau tempat keramat dari salah satu agama bukan kristen.
110. "Para Imam agar tetap mengingat bahwa dalam misteri Kurban Ekaristi itu karya penebusan dilaksanakan terus, hendaknya kerapkali merayakannya. Bahkan sangat dianjurkan perayaan tiap hari, yang juga - meskipun tidak dapat dihadiri oleh umat - merupakan tindakan Kristus dan Gereja; dan dalam melaksanakan itu, para Imam menunaikan tugasnya yang utama".
111. Seorang Imam harus diizinkan merayakan Ekaristi atau berkonselebrasi dalam Ekaristi "sekalipun ia tidak dikenal oleh rektor gereja, asal saja ia menunjukkan surat-surat rekomendasi" yang tidak lebih dari setahun lalu telah dikeluarkan oleh Takhta Suci atau oleh Uskupnya atau Superiornya, "kecuali bila secara bijak dapat dinilai bahwa ia tidak terhalang untuk merayakan Misa". Para Uskup hendaklah mengambil tindakan untuk menghentikan praktek-praktek yag bertentangan dengan penetapan ini.
112. Misa itu dirayakan entah dalam bahasa Latin entah dalam sebuah bahasa lain, asalkan teks-teks liturgi yang dimanfaatkan telah disahkan penggunaannya sesuai dengan norma hukum. Kecuali bila bila oleh penanggung jawab gereja setempat telah ditetapkan suatu jadwal perayaan Misa dalam bahasa umat, seorang Imam selalu dan di mana-mana diizinkan untuk merayakan Misa dalam bahasa Latin.
113. Bilamana Misa dirayakan oleh beberapa Imam bersama, maka dalam Doa Syukur Agung harus dipergunakan sebuah bahasa yang dipahami oleh samua Imam yang berkonselebrasi itu serta oleh umat yang hadir. Di mana terjadi bahwa beberapa Imam di antaranya tidak mengetahui bahasa yang dipakai dalam perayaan itu dan karena itu pun tidak sanggup mengucapkan bagian-bagian. Doa mereka tidak ikut berkonselebrasi melainkan menghadiri perayaan itu dengan mengenakan busana liturgis, sesuai dengan peraturan yang berlaku.
114. "pada Misa hari-hari Minggu dalam paroki-paroki ? sejauh paroki-paroki itu merupakan persekutuan-persekutuan Ekaristis ? biasanya terdapat dalam paroki-paroki itu berbagai kelompok, gerakan, perserikatan, bahkan komunitas-komunitas religius kecil". Walaupun diizinkan Misa dirayakan untuk kelompok-kelompok yang demikian, sesuai dengan norma-norma yang berlaku, namun kelompok-kelompok itu tetap harus menaati patokan-patokan liturgi yang telah ditetapkan.
115. Penyelewengan yang patut dicegah ialah bahwa perayaan Misa Kudus bagi umat ditangguhkan dengan sewenang-wenang. berlawanan dengan norma-norma Misale Romawi serta tradisi yang sehat Ritus Romawi, seolah-olah mau diadakan "pantang dari Ekaristi".
116. Jumlah Misa yang dirayakan harus sesuai dengan norma yang ditetapkan oleh hukum, Adapun stipendia Misa, semuanya itu harus dijalankan seperti ditetapkan oleh hukum.
117. Bejana suci untuk memuat Tubuh dan Darah Tuhan, harus dikerjakan sesuai dengan apa yang ditentukan oleh tradisi dan buku-buku liturgi, Konferensi Uakup berwenang memutuskan apakah bejana-bejana suci itu dikerjakan juga dari bahan kokoh lain;atas keputusan itu harus diberi recognitio oleh Takhta Apostolik sebelum diumumkan, Akan tetapi perlulah menjadi perhatian supaya bahan yang demikian sungguh bernilai dalam pandangan masyarakat di wilayah yang bersangkutan, sehingga dengan pemanfaatanya Tuhan dihormati dan dihindarkanlah bahaya merosotnya di mata orang beriman ajaran tentang kehadiran yang sungguh dari Kristus dalam rupa Ekaristi, Karena itu pun tidak disetujui penggunaan - dalam perayaan Misa ? bejana-bejana biasa atau bejana yang tidak bermutu atau tidak mempunyai nilai estis apa pun atau yang berupa hanya penampung, dan juga bejana-bejana yang dibuat dari kaca, tanah liat atau bahan lain yag mudah pecah patokan inin harus diterapkan juga pada bahan logan dan bahan lain yang mudah berkarat atau menjadi rusak.
118. Sebelum mulai dipergunakan, bejana-bejana suci itu harus diberkati oleh seorang imam sesuai dengan peraturan yang terdapat dalam buku-buku liturgi. patut dipuji jika pemberkatan ini dapat dilakukan oleh Uskup diosesan, yang sekaligus akan menilai apakah bejana-bejana ini pantas dipergunakan sesuai tujuannya.
119. Imam yang telah membagi komuni, setelah kembali ke altar dan sambil berdiri pada altar atau meja kredens, mengosogkan patena atau sibori dari remah-remah sambil memegangnya terbalik di atas piala, kemudian ia membersihkan piala sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam Misale lalu mengeringkan piala dengan kain pembersih kaliks, jika hadir seorang Diakon, maka setelah bersama imam kembali ke altar , dialah yang membersihkan bekana-bejana itu, Namun diizinkan juga, teristimewa jika ada beberapa bejana yang perlu dibersihkan, membiakannya dalam keadaan tertudung sesuai dengan keadaan dan sambil terletak diatas sebuah korporale yang dibentangkan diatas altar atau diatas meja kredens, lalu dibersihkan oleh imam atau Diakon segera sesudah Misa selesai, setelah umat pulang, selain itu seorang akolit yang terlatih dapat membantu imam atau Diakon dalam hal membersihkan dan mengatur bejana-bejana suci pada altar atau pada meja kredens, jiak tidak hadir seorang Diakon, seorang akolit terlatih membawa bejana-bejana suci ke meja kredens, lalu membersihkannya, mengeringkannya dan mengaturnya menurut cara ynag biasa.
120. Para Pastor hendaknya memperhatikan agar dijaga kebersihan kain-kain untuk meja kudus, khusus yang diatasnya diletakan hosti atau piala, dan bahwa kain itu dicuci menurut cara tradisional. patut dipuji jika air dari pembasuhan pertama dituangkan ke dalam sakrarium gerja atau ditanah pada suatu tempat yang pantas, Selanjutnya pembasuhan kedua dapat dibuat menurut cara biasa.
121. "Keaneka-ragaman warna busana liturgis dimaksudkan untuk mengungkapkan secara lahiriah dan berhasil-guna ciri khas misteri iman yang dirayakan dan untuk mengukapkan juga makna tahap-tahap perkembangan dalam kehidupan kristiani dalam kerangka tahun liturgi". Dari segi lain, perbedaan "tugas dalam pernyaan Ekaristi dinyatakan secara lahiriah dalam kebhinekaan busana suci. Apalagi busana suci itu hendaknya juga untuk menunjang keindahan upacara itu sendiri".
122. "Alba itu" "pada pinggang dikencangi dengan singel kecuali kalau bentuk alba itu memang tidak menuntut singel. Kalau alba tidak menutut kerah pakaian sehari-hari, maka dikenakan amik sebelum alba. "
123. "Busana khusus bagi Imam dalam Misa ialah kasula; begitu pula dalam perayaan litrugi lainnya yang langsung berhubungan dengan Misa, kecuali kalau ada peraturan lain. Kasula dipakai di atas alba dan stola". Imam pun, bila mengenakan kasula sesuai dengan peraturan, tidak boleh mengambaikan stola. Hendaknya semua ordinaris menjaga agar segala kebiasaan yang berlawanan dengan itu, ditiadakan.
124. Dalam Misale Romawi diberi izin kepada para Imam yang berkonselebrasi ? kecuali selebran utama-* (yang selalu harus memakai kasulan dalam warna yang ditentukan) ? untuk membatalkan "kasula dan hanya memakai stola di atas alba". Namun hal ini berlaku jika ada alasan yang pantas untuk itu, misalnya jika jumlah konselebran teramat besar atau ada kekurangan busana. Namun dimana dapat diketahui sebelumnya bahwa busana itu dibutuhkan, makah hendaknya disediakan kasulan sedapat dan sebanyak mungkin, Kalau keadaan terpaksa, para konselebran yang bukan selebran utama, boleh juga memakai kasulan warna putih. Selebihnya hendaknya dituruti norma-norma yang terdapat dalam buku-buku liturgi.
125. Busana khusus untuk Diakon ialah dalmatik, yang dikenakan di atas alba dan stola. Demi mempertahankan tradisi indah Gereja, sepatunyalah izin untuk tidak mengenakannya jangan dipergunakan.
126. Tidak dapat disetujui bahwa para petugas suci merayakan Misa Kudus atau cara-cara liturgi lain tanpa busana suci atau dengan hanya stola di atas busan rahib atau biara atau di atas pakaian biasa. Hal ini berlawanan dengan apa yang ditentukan dalam buku-buku liturgi. Hal ini berlaku juga bila satu pelayan mengabil bagian. Demi memperbaiki penyewengan-penyelewengan itu secepat mungkin, para ordinasi hendaknya memperhatikan agar di semua gereja dan kapela yang berada di bawa yurisdiksi mereka, tersedialah busana liturgis yang secukupnya coraknya sesuai dengan norma-norma.
127. Dalam buku-buku liturgi diberikan izin khusus untuk mempergunakan busan suci yang meriah atau kelihatan lebi mulia pada kesempatan-kesempatan Hari Raya, sekalipun tidak sesuai denghan warna yang ditentukan untuk hari itu. Namun izin ini menyangkut khususnya busana yang telah dikerjakan banyak tahun lalu. Izin ini diberikan dengan tujuan untuk mengukapkan penghargaan terhadap harta pusaka Gereja. Maka izin ini tidak boleh diterapkan pada pembaharuan-pembeharuan yang mempergunakan corak dan warna menurut selera peribadi tanpa memperhatikan praktek sejak dahulu kala; dalam pada itu maksud yang sebenarnya norma ini tak tercapai memusnahkan tradisi. Pada kesempatan hari raya, busana berwarna emas atau perak boleh menggatikan setiap warna lain, kecuali ungu atau hitam.
128. Tentang Misa Kudus dan perayaan-perayaan liturgi lain, yang semuanya merupkan karya Kristus dan umat Allah menurut jenjang-jenjangnya, ditentukan bahwa para petugas suci dan umat awal dengan jelas mengambil bagian didlamnya masing-masing menurut kondisinya sendiri. Karena itu seyogyanya "Imam-Imam yang hadir pada sebuah perayaan Ekaristi ? kecuali kalau ada alasan yang masuk akal ? biasanya itu berkonselebrasi sesuai dengan martabatnya sebagai imam, dengan memakai busana suci. Setidaknya, mereka memakai busana biaranya yang khas atau superpli setelah jubah" Tidak tepatlah jika merekah secara lahiriah mengambil bagian dalam Misa menurut cara umat beriman awam, kecuali dalam situasi yang sangat langka serta istimewa dan karena alasan yang wajar.
129. "Perayaan Ekaristi dalam Kurban Misa sungguh merupakan sumber dan punya tujuan penghormatan yang diberikan kepada Ekaristi di luar Misa. Selain itu, hosti kudus disimpan sesudah Misa terutama supaya anggota umat yang tidak dapat menghadiri Misa, terutama mereka yang sakit dan yang lanjut usia, oleh Komuni suci ini dapat dipersatukan dengan Kristus dan dengan KurbanNya yang dipersembahkan dalam Misa". Disamping itu, dengan penyimpanan hosti kudus itu, dibuka kesempatan untuk bersembah sujud kepada Sakramen seagung ini dan mempersembahkan kepada-Nya hormat yang wajib diberikan kepada Allah. Oleh karena itu, bentuk-bentuk sembah sujud yang bukan hanya bersifat pribadi tetapi juga umum dan komuniter, seperti telah ditetapkan atau direstui oleh Gereja sendiri, harus ditunjang dengan sungguh-sungguh.
130. "Sesuai dengan tata bangun tiap gereja dan kebiasaan resmi setempat, Sakramen Mahakudus harus disimpan dalam sebuah tabernakel yang dtempatkan di salah satu bagian gereja. Tempat tabernakel itu hendaknya indah dan mencolok, mudah dilihat dan terhias dengan cara yang pantas". Selain itu tempat itu harus "cocok untuk berdoa" karena suasana teduh, dengan tempat yang luas di depan tabernakel itu dan tersedianya tempat duduk dan tempat untuk berlutut. Selain itu harus sungguh-sungguh diperhatikan semua penetapan dalam buku-buku liturgi dan segala yang ditetapkan oleh hukum, teristimewa demi menghindarkan terjadinya profanasi.
131. Selain penetapan-penetapan yang terdapat dalam kan. 954 ?1, tidak diizinkan menyimpan Sakramen Mahakudus ini di suatu tempat yang tidak dengan pasti dapat diawasi oleh Uskup diosesan atau di mana ada bahaya profanasi. Di mana terjadi hal yang demikian, maka Uskup diosesan hendaknya segera menarik kembali izin untuk menyimpan Ekaristi yang mungkin sudah diberikan.
132. Tak seorangpun diizinkan membawa Ekaristi Mahakudus itu ke rumahnya atau ke tempat apa pun yang bertentangan dengan hukum. Harus diingat juga bahwa memindahkan atau menyimpan roti atau anggur yang telah dikonsekrir itu untuk maksud sakrilegi atau membuangnya, temasuk kejahatan besar (gravia delicta), dalam hal ini dosa yang hanya dapat diampuni oleh Kongregasi Ajaran Iman.
133. Seorang Imam atau Diakon atau pun seorang pelayan yang mengantar Ekaristi Mahakudus bila seorang petugas tertahbis tidak hadir atau berhalangan, untuk menerimakannya sebagai Komuni kepada seorang sakit, hendaknya sedapat mungkin pergi langsung dari tempat di mana sakramen tersimpan ke rumah orang sakit itu, dengan tidak mengurusi hal-hal duniawi di tengah jalan, demi menghindarkan profanasi dan demi menjamin hormat yang sebesar-besarnya untuk Tubuh Kristus. Selain itu, untuk menerimakan Komuni kepada orang sakit, selalu harus dipergunakan tata cara yang ditetapkan dalam Rituale Romawi.
134. "Penghormatan Ekaristi di luar Kurban Misa merupakan suatu unsur yang tak ternilai dalam kehidupan Gereja. Ibadat yang demikian mempunyai hubungan erat dengan perayaan Kurban Ekaristi". Karena itu umat harus diajak untuk ? juga di luar Misa ? menjalankan devosi kepada Ekaristi Mahakudus itu, baik secara umum maupun secara pribadi, karena melaluinya umat beriman bersembah sujud kepada Kristus sendiri yang benar-benar hadir di situ, dan yang adalah "Imam Agung untuk semua hal yang baik di masa mendatang" serta Penebus semesta alam. "Para Pastor bertanggung jawab ? bahkan melalui kesaksian hidupnya sendiri ? untuk mendukung praktek sembah-sujud Ekaristi ini, teristimewa pentakhtaan Sakramen Mahakudus itu serta doa adorasi di hadapan Kristus yang hadir di dalam rupa Ekaristi".
135. Umat beriman sehari-hari hendaknya tanpa lelah mengadakan kunjungan-kunjungan kepada Sakramen Mahakudus, sebagai ucapan syukur, suatu pengungkapan cinta kasih dan pelunasan suatu utang itulah adorasi yang harus ditujukan kepada Kristus Tuhan yang hadir di dalamnya". Karena kontemplasi terhadap Yesus yang hadir dalam Sakramen Mahakudus itu, sebagai Komuni kerinduan, menyebabkan suatu kesatuan erat orang beriman dengan Kristus, seperti dengan amat cemerlang menjadi kentara dalam kehidupan begitu banyak orang Kudus. "Kecuali jika ada alasan berat, gereja di mana disimpan Ekaristi Mahakudus, hendaknya terbuka bagi umat beriman setiap hari sekurang-kurangnya selama beberapa jam, agar umat dapat berdoa sejenak di hadapan Sakramen Mahakudus".
136. Ordinaris hendaknya dengan bijak mendorong adorasi Ekaristi, entah hanya singkat atau pun lebih lama atau bahkan hampir tak putus-putus, dengan partisipasi umat. Karena selama beberapa tahun akhir-akhir ini di banyak tempat "sembah-sujud kepada Sakramen Mahakudus itu menjadi suatu kebiasaan harian dan menjadi sumber tetap kesucian", walaupun ada juga tempat-tempat " di mana secara nyata hampir tidak ada perhatian sama sekali untuk ibadat dalam bentuk adorasi Ekarisri itu".
137. Pentakhtaan Ekaristi Mahakudus harus selalu berlangsung sesuai dengan petunjuk-petunjuk buku-buku liturgi. Di hadapan Sakramen Mahakudus, entah dalam tabernakel ataupun ditakhtakan, jangan diabaikan doa Rosario, yang mengagumkan "karena begitu sederhana namun sekaligus sangat mendalam". Teristimewa jika diadakan Pentakhtaan, patut diberi tekanan pada corak doa sebagai permenungan akan misteri kehidupan Kristus sang Penebus dan rencana keselamatan Bapa Mahakuasa, khususnya dengan memanfaatkan bacaan periskop-periskop Kitab Suci.
138. Akan tetapi, sementara ditakhtakan, Sakramen Mahakudus itu tidak pernah boleh dibiarkan tanpa kehadiran orang, bahkan untuk sejenak waktu saja. Maka harus diatur demikian rupa, sehingga selalu pada waktu-waktu yang sudah ditentukan, beberapa orang beriman hadir, menurut giliran.
139. Di tempat-tempat di mana Uskup diosesan mempunyai petugas-petugas rohani atau orang lain yang dapat ditujukan untuk tugas itu, kaum beriman berhak untuk seringkali mengujungi Sakramen Ekaristi Mahakudus untuk bersembah sujud, dan mengambil bagian dalam adorasi di depan Ekaristi Mahakudus yang ditakhtakan sekurang-kurangnya beberapa kali setahun.
140. Sangat dianjurkan supaya sekurang-kurangnya di kota-kota, Uskup diosesan menunjuk sebuah gedung gereja untuk adorasi abadi. Dalam gereja tersebut sering harus diadakan perayaan Misa Kudus, bahkan jika mungkin setiap hari. Pada saat perayaan Misa itu Pentakhtaan harus dihentikan. Sepantasnya adorasi dibuat dihadapan hosti yang dikonsekrir dalam perayaan Misa mendahuluinya; Hosti itu dimaksukkan kedalam monstrans di atas altar, sesudah Komuni.
141. Uskup diosesan mengakui dan sedapat mungkin menunjang hak kelompok-kelompok tertentu di antara umat beriman untuk membentuk persekutuan-persekutuan yang melaksanakan adorasi, bahkan adorasi yang bersifat hampir tak putus-putus. Di mana persekutuan-persekutuan yang demikian bercorak internasional, maka Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen yang akan mendirikannya dan menyetujui statuta-statutanya.
142. "Uskup diosesan wajib membuat peraturan-peraturan mengenai prosesi, di mana dijamin partisipasi serta pelaksanaannya secara pantas" dan mengajak umat melaksanakan adorasi.
143. "Jika menurut pandangan Uskup diosesan dapat dilaksanakan, sebagai kesaksian publik penghormatan terhadap Ekaristi Mahakudus, maka hendaklah diselenggarakan perarakan lewat jalan-jalan umum, terutama pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus", maklumlah partisipasi khidmat kaum beriman dalam perarakan Ekaristi pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus adalah suatu karunia dari Tuhan yang setiap tahun dengan kegembiraan semua orang yang mengambil bagian di dalamnya".
144. Walaupun ada tempat-tempat di mana tidak mungkin dilaksanakan, namun kebiasaan untuk mengadakan perarakan Ekaristi tidak boleh hilang, Sebagai pengganti perlu dicari cara baru untuk mengadakannya sesuai dengan keadaan dewasa ini, misalnya pada pusat-pusat ziarah atau dalam taman-taman jika diizinkan oleh pemerintah.
145. Nilai pastoral Kongres Ekaristi patut dijunjung tinggi;hendaknya kegiatanitu menjadi"tanda iman dan cinta kasih sejati"persiapanya harus dengan saksama dan pelaksanaannya harus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan, sehingga umat beriman diberi kesempatan untuk menghormati misteri suci Tubuh dan Darah Putra Allah secara layak dan dengan tak henti-hentinya mengalami dalam dirinya buah penebusan.
146. Tak ada pengganti untuk imamat sebagai pelayan umat, Karena jka ada umat tanpa imam, maka bagi umat itu tidak tersedia pelaksanaan serta fungsi dari sakramental Kristus, kepala dan Gembala, padahal hal ini merupakan bagian hakiki hidup komunitas itu sendiri, Karena "pelayan yang selaku pribadi Kristus apat melaksanakan sakramen Ekaristi, hanya imam yang ditahbiskan secara sah .
147. Bila kebutuhan Gereja memintanya, namun tidak tersedialah pelayan-pelayan roahani, maka juga kaum awam diantara umat beriman dapat menjalankan beberapa tugas liturgis tertentu, menurut ketentuan ?ketentuan hukum, Orang beriman yang demikian dipanggil dan ditunjuk untuk melaksanakan tugsd-tugas tertentu, baik yang lebih berat ataupun yang lebih ringan, dan dibatu oleh rahmat Tuhan, Banyak diantara orang beriman awam sudah melaksanakan ? dan hingga kini masih melaksanakan-tugas-tugas ini dengan dedikasi, terutama di daerah-daerah misi, dimana jumlah anggota Gereja masih terbatas atau dimana Gereja mengalami penganiayaan. tetapi juga di wilayah-wilayah yang mengalami kekurangan Imam dan Diakon.
148. Perhatian khusus hendaknya diberikan kepada pembinaan katekis-katekis, Degan pengorbanan besar mereka telah memberikan dan tetap masih memberikan bantuan yang luar biasa dan yang mutlak perlu untuk mewartakan iman dan menghadirkan Gereja di pelbagai tempat.
149. Akhir-akhir ini, dalam beberapa keuskupan yang telah menerima Injil sejak dahulu kala, sejumlah anggota umat beriman telah ditunjuk sebagai "asisten pastoral", dan tak dapat disangkal bahwa ada banyak diantara mereka berhasil melakukan hal-hal baik untuk Gereja dengan mendampingi Uskup, para Imam dan Diakon dalam pelaksanaan tugas pastoralnya. Namun perlulah menjadi perhatian bahwa perlaksanaan tugas ini jangan terlalu mirip dengan corak pelayanan pastoral yang menjadi tugas para klerus. Dengan kata lain, harus dijaga sungguh-sungguh agar "asisten-asisten pastoral" itu tidak melaksanakan hal-hal yang menjadi tugas khusus para pelayan tertahbis.
150. Kegiatan seorang asisten pastoral hendaknya diarahkan untuk hal menunjang pelayanan para Imam dan Diakon, untuk membangkitkan panggilan Imam serta Diakon dan untuk peltih-an yang berbobot bagi pelbagai fungsi liturgis umat beriman di setiap jemaat, sambil memperhatikan berbagai kharisma sesuai dengan norma hukum.
151. Hanya kalau sungguh perlu, boleh diminta bantuan pelayan-pelayan tak lazim dalam perayaan Liturgi. Permohonan akan bantuan yang demikian bukannya dimaksudkan demi menunjang partisipasi umat, melainkan, karena kodratnya, bersifat pelengkap dan darurat. Apalagi, jika permohonan akan bantuan pelayan-pelayan tak lazim ini berdasarkan kebutuhan umat, maka hendaknya digandakan doa-doa permohonan, mendesak supaya Tuhan segera mengutus seorang Imam untuk melayani jemaat ini serta menumbuhkan kesuburan panggilan untuk Tahbisan Suci.
152. Jabatan-jabatan yang hanya pelengkap ini jangan dipergunakan untuk menjatuhkan pelayanan asli oleh para Imam demikian rupa, sehingga para Imam itu lalai merayakan Misa untuk umat yang menjadi tanggung jawab mereka ataupun melalaikan kepedulian pribadi terhadap orang sakit, atau pembabtisan anak-anak, atau asistensi pada perkawinan atau pelaksanaan penguburan Kristiani: semuanya itu termasuk tugas inti para Imam didampingi para Diakon. Karena itu tidak boleh terjadi bahwa di paroki-paroki para Imam menukar pelayanan pastoral dengan para Diakon atau orang awam, dan dengan demikian mengaburkan apa yang menjadi tugas khas masing-masing.
153. Perlu diperhatikan juga bahwa umat awam tidak pernah boleh bertindak atau berbusana seperti seorang Imam atau Diakon, atau memakai busana yang mirip dengan busana dimaksud.
154. Seperti sudah dinyatakan, "pelayan yang selaku pribadi Kristus dapat melaksanakan sakramen Ekaristi, hanyalah seorang Imam yang ditahbiskan secara sah". Karena itu, istilah "pelayan Ekaristi" hanya dapat diterapkan pada seorang Imam. Di samping itu, juga berdasarkan Pentahbisan Suci, pelayan-pelayan yang lazim untuk memberi Komuni Suci adalah Uskup, Imam dan Diakon. Maka merekalah yang harus menerimakan Komuni Suci kepada anggota awam di antara umat beriman pada saat perayaan Misa. Dengan cara ini nyatalah secara penuh dan tepat jabatan mereka sebagai pelayan Gereja dan tanda Sakramen menjadi pelengkap.
155. Di samping pelayan-pelayan tertahbis, ada juga akolit yang telah dilantik secara resmi, dan karenanya menjadi pelayan tak lazim untuk membagi Komuni Suci juga di luar perayaan Misa. Jika, selain itu, ada alasan-alasan yang mendesak, maka seorang anggota awam lain di antara umat beriman boleh diberi delegasi oleh Uskup diosesan dan ? dalam batas norma hukum ? diberi izin entah untuk satu kesempatan entah untuk suatu waktu tertentu; untuk kesempatan itu boleh dipergunakan suatu rumus berkat yang sesuai. Namun penunjukan ini belum tentu bercorak liturgis, dan jika dalam bentuk liturgis maka sama sekali tidak boleh mirip dengan Pentahbisan suci. Akhirnya, dalam kasus-kasus khusus yang tidak diduga sebelumnya, izin dapat diberikan oleh Imam yang memimpin Ekaristi, tetapi hanya untuk satu kesempatan itu.
156. Jabatan ini harus dipandang hanya melulu menurut istilahnya yang dipakai buat itu, yaitu "pelayan tak lazim Komuni Suci" dan bukan "pelayan khusus Komuni Suci" atau "pelayan tak lazim Ekaristi", karena dengan memakai istiah-istilah itu, arti jabatan ini menjadi lebih luas sedangkan hal ini tidak perlu dan tidak diinginkan.
157. Jika di suatu tempat biasanya jumlah pelayan tertahbis mencukupi untuk membagi Komuni Suci, maka tidak boleh ditunjuk pelayan-pelayan tak lazim. Malah dalam situasi yang demukian, orang yang mungkin sudah ditunjuk untuk pelayanan ini, jangan melaksakannya. Tidak dapat dibenarkan kebiasaan para Imam yang, walaupun hadir pada perayaan itu, sendiri tidak membagi Komuni dan menyerahkan tugas ini kepada orang-orang awam.
158. Memang, pelayan tak lazim Komuni Suci hanya boleh menerimakan Komuni bila tidak ada Imam dan Diakon, atau bila Imam terganggu karena badan lemah atau usia lanjut atau suatu alasan lain yang wajar, atau pun bila jumlah orang beriman yang ingin menyambut Komuni begitu besar, sehingga perayaan Misa itu akan terlalu lama. Namun harus dimengerti demikian rupa bahwa upaya mempersingkat perayaan Misa itu, bila memperhatikan situasi dan kebudayaan setempat, sama sekali bukan alasan yang cukup.
159. Tidak pernah boleh pelayan tak lazim Komuni Suci mendelegasikan seorang lain untuk menerimakan Ekaristi, misalnya orang tua atau pasangan suami/istri atau anak dari orang sakit yang hendak menyambut Komuni itu.
160. Hendaknya Uskup diosesan meneliti baik-baik perkembangan praktek ini selama beberapa tahun akhir-akhir ini, dan seperlunya memperbaiki atau memberikan peraturan-peraturan yang lebih tepat. Di mana saja pelayan-pelayan tak lazim yang demikian sudah menyebar luas berdasarkan kebutuhan nyata, hendaknya Uskup diosesan mengeluarkan norma-norma khusus, melaluinya ia menentukan caranya jabatan ini harus dilaksanakan sesuai dengan hukum, dilatarbelakangi oleh tradisi Gereja.
161. Seperti sudah dicatat, homili di dalam Misa ? karena pentingnya serta maknanya - adalah wewenang Imam atau Diakon. Mengenai corak-corak lain untuk berkhotbah, kaum awam di antara umat beriman dapat diperkenankan untuk berkhotbah di dalam gereja atau tempat ibadat lain, tetapi di luar konteks Misa, jika situasi tertentu menuntutnya atau pula jika hal ini berguna dalam keadaan khusus, sesuai dengan ketentuan hukum. Hal ini hanya boleh dilaksanakan jika di tempat-tempat tertentu ada kekurangan pelayan tertahbis, supaya dengan demikian suatu kebutuhan dipenuhi; namun tindakan darurat ini tidak boleh menjadi kebiasaan; tidak juga boleh dipandang sebagai bentuk otentik bekembangnya umat awam, . Semuanya harus ingat juga bahwa izin yang demikian hanya boleh diberikan oleh Ordinaris setempat dan hanya untuk kasus-kasus individual; maka izin ini tidak dapat diberikan oleh orang lain, termasuk seorang Imam atau Diakon pun.
162. Pada hari yang dikenal sebagai Hari Tuhan, umat Gereja berkumpul untuk mengenangkan Kebangkitan Tuhan serta selurh Misteri Paskah, khususnya melalui perayaan Misa. Sesungguhnya "tidak ada suatu komunitas Kristiani yang dibangun tanpa berakar pada dan tergantung dari perayaan Ekaristi Mahakudus". Oleh sebab itu orang Kristiani berhak agar demi kepentingan mereka Ekaristi dirayakan pada setiap hari Minggu dan hari raya wajib atau hari-hari lainnya, bahkan setiap hari sejauh hal ini mungkin. Maka, bila sulit pada suatu hari Minggu mengadakan perayaan Misa di sebuah gereja paroki atau di tempat lain di mana umat beriman berkumpul, Uskup diosesan bersama dengan para Imamnyaharus mencari jalan keluar yang tepat. Salah satu jalan keluar ialah memohon kesediaan Imam-Imam lain, atau mengajak umat untuk mengambil bagian dalam misteri Ekaristi di suatu tempat yang berdekatan.
163. Semua imam, yang kepadanya dipercayakan Imamat dan Ekaristi demi kepentingan orang lain, hendaknya ingat bahwa mereka harus menyediakan bagi umat beriman kesempatan untuk memenuhi kewajibannya mengambil bagian dalam Misa hari Minggu. Umat pun berhak ? kecuali jika sungguh sama sekali tidak mungkin ? bahwa tak seorang Imam pun menolak merayakan Misa untuk umat atau mengatur supaya hal itu dilaksanakan oleh seorang Imam lain jika umat tidak dapat kemungkinan lain untuk memenuhi kewajibannya mengambil bagian dalam Misa pada hari Minggu atau hari wajib lainnya.
164. "Jika tidak ada pelayan rohani atau karena alasan berat lainnya tidak ada kemungkinan untuk mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi, maka umat Kristiani berhak agar Uskup diosesan, menurut kemampuan, mengatur supaya diadakan salah satu perayaan pada hari-hari Minggu untuk jemaat itu di bawah pengawasannya dan sesuai dengan norma-norma Gereja. Namun perayaan-perayaan sejenis ini sama sekali tidak boleh dipandang sebagai hal biasa. Semua diakon atau kaum awam di antara umat beriman yang oleh Uskup diosesan ditunjuk berperanan dalam perayaan-perayaan yang demikian, harus berusaha agar "jemaat tetap "lapar" akan Ekaristi, sehingga tidak pernah suatu kesempataan untuk perayaan Misa dihilangkan, dan mempergunakan juga kehadiran, secara kebetulan, dari seorang Imam yang tidak terhalang oleh hukum Gereja untuk merayakan Misa".
165. Perlulah menghindarkan segala kerancuan antara kebaktian sejenis ini dan perayaan Ekaristi. Karena itu para Uskup diosesan harus mempertimbangkan dengan bijaksana apakah dalam kebaktian-kebaktian itu sebaiknya Komuni Suci dibagi atau tidak. Hal ini sebaiknya ditinjau secara lebih luas dalam koordinasi Konferensi Uskup, untuk kemudian dilaksanakan setelah memperoleh recognitio dari Takhta Apostolik melalui Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen.
Selain itu, bila baik seorang Imam maupun seorang Diakon tak hadir, sebaiknya bagian-bagian dalam kebaktian itu dibagi antara beberapa petugas awam daripada seorang awam merangkap seluruh acara kebaktian seorang diri. Tidak tepat juga mengatakan bahwa seorang awam "memimpin" dalam kebaktian itu.
166. Demikian pula, terutama jika pada waktu baktian yang demikian Komuni Suci dibagi, Uskup Diosesan, yang secara khusus berwenang utnuk mengatur hal-hal ini. tidak dengan mudah memberi izin untuk mengadakan perayaan-perayaan sereti ini pada hari-hari biasa, terutama di tempat-tempat di mana dapat dibuat Perayan Misa pada hari Minggu sebelumnya atau sesudahnya. Karena itu pun para Imam diminta dengan mendesak supay setiap hari merayakan Misa untuk umat di salah satu di atara gereja-gereja yang dipercayakan kepada mereka.
167. "Demikian pula sama sekali tidak diizinkan pada Hari Tuhan itu Misa Kudus diganti dengan perayaan-perayaan ekumenis atau dengan doa bersama orang-oarang Kristes dari komunitas-Komunitas Gerejani lain atau pun dengan berpartisipasi dalam ibadah liturgi Komunitas-komunitas tsb. Jika karena kepentingan khusus, Uskup diosesan untuk suatu kesempatan mengizinkan partisipasi orang-orang Katolik, maka para Pastor harus mengingatkan umat ? demi menghindarkan kebingungan di kalangan umat Katolik ? akan perlunya mengabil bagian dalam Misa pada suatu jam lain, dalam situasi seperti itu, demi memenuhi kewajibannya.
168. "Seorang klerikus yang kehilangan status klerikal menurut norma hukum, dilarang melaksanakan kuasa tahbisan". Maka ia tidak diizinkan merayakan sakramen-sakramen atas alasan apa pun, kecuali dalam hal khusus yang disebut dalam hukum. Umat beririman pun tidak boleh meminta dia untuk salah satu perayaan sakramen, karena menurut kan. 1335 tidak ada alasan apa pun untuk mengizinkannya. Di samping itu, mereka itu tidak boleh membawakan homili atau pun menerima suatu tugas dalam perayaan Liturgi suci, demi menghindari timbulnya ke ? bingungan di antara umat beriman dan kaburnya kebenaran.
169. Bila terjadi penyelewengan dalam perayaan Liturgi suci, maka hal itu harus dipandang sebagai suatu pencemaran Liturgi Katolik. St. Thomas menulis: "Kejahatan dibuat oleh siapa saja yang atas nama Gereja beribadat kepada Allah menurut suatu cara yang berlawanan dengan apa yang oleh Gereja telah ditetapkan sesuai wewenang ilahi dan sudah menjadi kebiasaan dalam Gereja".
170. Demi membuat pemulihan terhadap penyelewengan-penyelewengan yang demikian, maka "amat perlulah pembinaan biblis dan liturgis bagi umat Allah, baik para pastor maupun umat", sehingga iman Gereja serta peraturannya menyangkut Liturgi suci dijelaskan dan dipahami dengan tepat. Akan tetapi kalau di suatu tempat penyelewengan-penyelewengan terus terjadi, maka perlulah, sesuai dengan hukum, diambil langkah untuk mengamankan warisan spiritual serta hak Gereja dengan mempergunakan daya upaya yang sah.
171. Di antara berbagai penyelewengan ada beberapa yang secara obyektif termasuk kejahatan amat besar (graviora delicta) atau sebaliknya merupakan pelanggaran berat dan yang lain sebagai penyimpangan-penyimpangan yang harus dihindarkan dan diperbaiki. Sambil memperhatikan terutama apa yang sudah diuraikan dalam Bab I dari Instruksi ini, maka perlulah diberi perhatian kepada hal-hal yang berikut ini.
173. Tentu saja berat atau seriusnya sesuatu hal harus dinilai sesuai dengan ajaran umum Gereja serta norma-norma yang sudah ditetapkan olehnya. Namun secara obyektif hal-hal yang harus dipandang sebagai pelanggaran berat ialah segala sesuatu yang membahayakan sahnya serta keluhuran Ekaristi yang Mahakudus: ialah segala apa saja yang bertentangan dengan apa yang diuraikan lebih awal dalam Instruksi. Selain itu perlu juga diperhatikan penetapan-penetapan lain dalam Kitab Hukum Kanonik, khususnya apa yang tersirat dalam kanon 1364, 1369, 1373, 1376, 1380, 1384, 1385, 1386, 1398.
174. Perlu ditambahkan bahwa perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan peraturan-peraturan lain, yang dibahas di lain tempat dalam Instruksi ini atau dalam norma-norma yang tercantum dalam hukum, tidak boleh dipandang enteng, melainkan termasuk penyelewengan-penyelewengan lain, yang harus dengan seksama dielakkan dan diperbaiki.
175. Segala yang dikemukakan dalam Instruksi ini tentu saja tidak mencakup semua pelanggaran melawan Gereja serta peraturannya yang terungkapkan dalam kanon-kanon, dalam undang-undang liturgi dan dalam peraturan Gereja lain demi Ajaran yang benar atau tradisi yang sehat. Kalau dilakukan kesalahan, maka haruslah diperbaiki menurut norma hukum.
176. Uskup Diosesan, "karena ia adalah pembagi utama misteri-misteri Allah, maka hendaknya ia senantiasa berusaha agar orang-orang beriman Kristiani yang dipercayakan kepada reksanya, dengan perayaan Sakramen-Sakramen tumbuh dalam rahmat, dan agar mereka mengenal dan menghayati misteri Paskah. " Menjadi tanggung jawabnya untuk "dalam batas-batas kewenangannya memberikan norma-norma mengenai Liturgi yang harus ditaati oleh semua".
177. "Karena harus melindungi seluruh Gereja, maka Uskup wajib memajukan tata-tertib umum untuk seluruh Gereja dan karenanya harus mendesak agar semua undang-undang Gerejani ditaati. Hendaknya ia menjaga agar kebiasaan yang tak baik jangan menyelinap ke dalam tata-tertib Gerejani, terutama dalam hal pelayanan sabda, perayaan sakramen-sakramen dan sakramentali serta penghormatan terhadap Allah dan para Kudus".
178. Dari sebab itu, bilamana saja seorang Ordinaris lokal atau Ordinaris dari sebuah komunitas Hidup Bakti atau dari sebuah Institut Sekulir menerima informasi yang patut menjadi perhatian tentang suatu pelanggaran atau penyelewengan menyangkut Ekaristi Mahakudus, hendaknya ia mengadakan pemeriksaan seksama, entah dia sendiri entah dengan pengantaraan seorang klerikus lain yang pantas, baik menyangkut fakta-fakta dan situasi maupun mengenai pelanggaran itu sendiri.
179. Pelanggaran terhadap iman dan juga graviora delicta yang dilakukan dalam perayaan Ekaristi serta Sakramen-Sakramen lain, harus dengan segera dilapor kepada Kongregasi Ajaran Iman, yang "akan menyelidikinya dan ? seperlunya ? akan mengucapkan deklarasi atau peneterapan sanksi-sanksi kanonik sesuai dengan norma hukum umum atau partikular".
180. Dalam hal-hal lain, hendaknya Ordinaris bertindak sesuai dengan norma-norma kanon-kanon suci, dengan memberikan hukuman kanonik bila ada pelanggaran, seraya menimbang dan menerapkan secara khusus apa yang ditetapkan dalam kan. 1326. Jika masalahnya sungguh serius, hendaknya diberitahukan kepada Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen.
181. Bilamana saja Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen menerima laporan tentang suatu pelanggaran atau penyelewengan menyangkut Ekaristi Mahakudus , yang sedikitnya patut diperiksa lebih lanjut, maka Kongregasi tersebut memberitahukannya kepada Ordinaris sehingga dia dsapat membuat penyelidikan terhadap masalah itu. Jika ternyata masalahnya serius, Ordinaris harus secepat mungkin ? kepada Dikasteri yang sama ? mengirim photocopy dari akta-akta pemeriksaan yang telah dilaksanakan dan ? dimana perlu ? hukuman yang telah diberlakukan.
182. Dalam kasus-kasus yang lebih sulit, Ordinaris, demi keselamatan Gereja universal ? di dalamnya ia pun terlibat berdasarkan tahbisannya yang suci ? tidak boleh gagal dalam hal menangani masalah itu setelah memperoleh nasehat dari Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen. Kongregasi tersebut, atas kuasa yang diberikan kepadanya oleh Sri Paus, akan ? sesuai dengan itu ? mendampingi Ordinaris seraya memberikan kepadanya fasilitas untuk memberikan dispensasi-dispensasi yang perlu atau memberikan kepadanya instruksi atau petunjuk, yang harus dijalankannya dengan seksama.
183. Semua orang dengan caranya yang khusus sekali hendaknya berusaha dengan segala kemampuannya untuk menjamin bahwa Sakramen Ekaristi yang Mahakudus itu terlindung dari segala pencemaran dan dari setiap nista dan bahwa semua penyelewengan diperbaiki dengan sungguh-sungguh. Inilah suatu kewajiban berat yang mengikat setiap orang, dan semua orang wajib melaksakannya tanpa pandang muka.
184. Setiap warga Katolik, entah dia seorang Imam, Diakon atau awam dalam persekutuan beriman, berhak untuk memasukkan laporan tentang suatu pelanggaran di bidang Liturgi pada Uskup diosesan atau Ordinaris yang menurut hukum sama wewenangnya atau pada Takhta Apostolik berdasarkan primat Sri Paus. Namun, sejauh mungkin, patutlah laporan atau keluhan itu disampaikan kepada Uskup diossesan terlebih dahulu. Tentu saja hal ini harus dibuat sesuai dengan kebenaran dan dalam semangat cinta kasih.
CONCLUSION
[185] "Against the seeds of discord which daily experience shows to be so deeply ingrained in human nature as a result of sin, there stands the creative power of the unity of Christ's body. For it is precisely by building up the Church that the Eucharist establishes fellowship among men".291 It is therefore the hope of this Congregation for Divine Worship and the Discipline of the Sacraments that also, by the diligent application of those things that are recalled in this Instruction, human weakness may come to pose less of an obstacle to the action of the Most Holy Sacrament of the Eucharist, and that with all distortion set aside and every reprobated practice removed,292 through the intercession of the Blessed Virgin Mary, "Woman of the Eucharist", the saving presence of Christ in the Sacrament of His Body and Blood may shine brightly upon all people.
[186.] Let all Christ's faithful participate in the Most Holy Eucharist as fully, consciously and actively as they can,293 honoring it lovingly by their devotion and the manner of their life. Let Bishops, Priests and Deacons, in the exercise of the sacred ministry, examine their consciences as regards the authenticity and fidelity of the actions they have performed in the name of Christ and the Church in the celebration of the Sacred Liturgy. Let each one of the sacred ministers ask himself, even with severity, whether he has respected the rights of the lay members of Christ's faithful, who confidently entrust themselves and their children to him, relying on him to fulfill for the faithful those sacred functions that the Church intends to carry out in celebrating the sacred Liturgy at Christ's command.294 For each one should always remember that he is a servant of the Sacred Liturgy.295
All things to the contrary notwithstanding.
This Instruction, prepared by the Congregation for Divine Worship and the Discipline of the Sacraments by mandate of the Supreme Pontiff John Paul II in collaboration with the Congregation for the Doctrine of the Faith, was approved by the same Pontiff on the Solemnity of Saint Joseph, March 19, 2004, and he ordered it to be published and to be observed immediately by all concerned.
From the offices of the Congregation for Divine Worship and the Discipline of the Sacraments, Rome, on the Solemnity of the Annunciation of the Lord, March 25, 2004.
(Francis Card. Arinze)
Prefect
(+Domenico Sorrentino)
Archbishop Secretary
Sumber: ImanKatolikOrId
Posting Komentar