Norma-norma liturgis Gereja memang menetapkan warna-warna busana liturgis yang khusus untuk beragam perayaan. Penggunaan aneka warna dalam busana liturgis memiliki dua tujuan:
Pertama, warna menegaskan masa liturgi tertentu dan perjalanan rohani umat beriman melewati masa-masa ini. Kedua, warna memberi makna masa liturgi dengan menegaskan suatu peristiwa tertentu atau suatu misteri iman tertentu.
Penjelasan berikut disampaikan berdasarkan norma-norma Pedoman Umum Misale Romawi no 345-347.
PUTIH / KUNING / KREM.
Warna-warna ini melambangkan sukacita dan kemurnian jiwa, dikenakan sepanjang Masa Natal dan Masa Paskah. Busana liturgis putih juga dikenakan pada perayaan-perayaan Tuhan Yesus (kecuali peringatan sengsara-Nya); begitu pula pada pesta Santa Perawan Maria, para malaikat, para kudus yang bukan martir, pada Hari Raya Semua Orang Kudus (1 November),
Kelahiran St Yohanes Pembaptis (24 Juni), Pesta St Yohanes Pengarang Injil (27 Desember), Pesta Tahta St Petrus Rasul (22 Februari) dan Pesta Bertobatnya St Paulus Rasul (25 Januari). Putih juga dapat dikenakan pada Misa Pemakaman Kristiani dan Misa Arwah guna melambangkan kebangkitan Tuhan kita, ketika Ia menang atas dosa dan maut, kesusahan dan kegelapan.
MERAH
Warna merah memiliki makna ganda. Di satu pihak, merah melambangkan pencurahan darah; di lain pihak, merah juga melambangkan api kasih Allah yang bernyala-nyala. Karenanya, busana liturgis merah dikenakan pada hari Minggu Palma (ketika Kristus memasuki Yerusalem untuk menyongsong kematian-Nya), pada hari Jumat Agung, pada hari Minggu Pentakosta (ketika Roh Kudus turun atas para rasul dan lidah-lidah api hinggap di atas kepala mereka), dalam perayaan-perayaan Sengsara Tuhan, pada pesta para rasul dan pengarang Injil (terkecuali St Yohanes yang tidak mengalami kemartiran), dan pada perayaan-perayaan para martir.
HIJAU
Warna hijau dikenakan sepanjang masa liturgi yang disebut Masa Biasa. Masa Biasa berfokus pada masa tiga tahun pewartaan Tuhan kita di depan publik, dan ayat-ayat Injil, teristimewa pada hari-hari Minggu, mengisahkan ajaran-ajaran, mukjizat-mukjizat, pengusiran setan dan perbuatan-perbuatan baik lain yang dilakukan-Nya selama masa itu.
Segala pengajaran dan peristiwa ini mendatangkan pengharapan besar dalam misteri keselamatan. Kita berfokus pada hidup-Nya yang Ia bagi bersama umat manusia semasa hidup-Nya di dunia ini, hidup yang sekarang kita bagi bersama-Nya dalam komunitas Gereja dan melalui sakramen-sakramen-Nya, dan kita menanti dengan rindu berbagi hidup abadi bersama-Nya dalam kesempurnaan di surga.
Hijau melambangkan pengharapan dan hidup ini, sama seperti tunas-tunas hijau yang menyembul di antara pepohonan yang tandus di awal musim semi membangkitkan pengharapan akan hidup baru.
Segala pengajaran dan peristiwa ini mendatangkan pengharapan besar dalam misteri keselamatan. Kita berfokus pada hidup-Nya yang Ia bagi bersama umat manusia semasa hidup-Nya di dunia ini, hidup yang sekarang kita bagi bersama-Nya dalam komunitas Gereja dan melalui sakramen-sakramen-Nya, dan kita menanti dengan rindu berbagi hidup abadi bersama-Nya dalam kesempurnaan di surga.
Hijau melambangkan pengharapan dan hidup ini, sama seperti tunas-tunas hijau yang menyembul di antara pepohonan yang tandus di awal musim semi membangkitkan pengharapan akan hidup baru.
UNGU / HITAM
Warna ungu dikenakan selama Masa Adven dan Masa Prapaskah sebagai tanda pertobatan, kurban dan persiapan. Di pertengahan dari masing-masing masa ini: pada hari Minggu Gaudete (Minggu Adven III) dan hari Minggu Laetare (Minggu Prapaskah IV) - busana liturgis berwarna JINGGA biasa dikenakan sebagai tanda sukacita.
Kita bersukacita di pertengahan masa ini karena kita telah melewati separuh persiapan kita dan sekarang mengantisipasi kedatangan sukacita Natal atau Paskah. Beberapa ahli liturgi, khususnya di Gereja Episcopal, memperkenalkan busana liturgis berwarna biru sepanjang Masa Adven guna membedakannya dari Masa Prapaskah; namun demikian, tidak ada persetujuan yang diberikan oleh Gereja Katolik untuk busana liturgis berwarna biru ini.
Ungu dapat juga dikenakan pada Misa Pemakaman Kristiani atau Misa Arwah. Walau sekarang jarang sekali dipergunakan, busana liturgis berwarna HITAM dapat dikenakan pada Misa Pemakaman Kristiani sebagai tanda maut dan duka. Hitam dapat juga dikenakan pada Peringatan Arwah Semua Orang Beriman atau Misa Arwah, misalnya pada hari peringatan kematian orang yang kita kasihi.
Pada dasarnya, keanekaragaman warna busana liturgis berupaya membangkitkan kesadaran kita akan masa-masa kudus; suatu upaya lahiriah lain untuk menghadirkan misteri-misteri kudus yang kita rayakan.
Busana Liturgis Lainnya
SUPERPLI
Istilah superpli berasal dari bahasa Latin “superpellicium” yang artinya “di atas dada”. Superli adalah pakaian luar seperti rok yang berwarna putih, panjangnya sampai di atas lutut dan memiliki lengan baju yang lebar; terkadang dengan renda-renda di bagian lengan dan lipatannya.
Istilah superpli berasal dari bahasa Latin “superpellicium” yang artinya “di atas dada”. Superli adalah pakaian luar seperti rok yang berwarna putih, panjangnya sampai di atas lutut dan memiliki lengan baju yang lebar; terkadang dengan renda-renda di bagian lengan dan lipatannya.
Superpli dipakai oleh imam atau diakon dalam rangka ibadat atau perayaan liturgi di luar misa, seperti adorasi, ibadat tobat, mengantar Komuni, dan ibadat-ibadat lain.
Superpli merupakan pengganti alba. Tapi, tidak boleh sembarangan memakai superpli. Kalau pelayan mengenakan kasula atau dalmatik, ia harus mengenakan alba, tidak boleh menggantikan alba dengan superpli. Superpli bisa juga dikenakan oleh siapa saja yang bertugas dalam liturgi, termasuk para broeder, frater dan misdinar.
PLUVIALE
Pluviale (Latin) berarti mantel hujan. Pluviale yang dipergunakan dalam liturgi merupakan kain mantel besar, indah, yang dikalungkan pada leher dari belakang dengan kancing rantai dari kedua sudut atas mantel.
Pluviale (Latin) berarti mantel hujan. Pluviale yang dipergunakan dalam liturgi merupakan kain mantel besar, indah, yang dikalungkan pada leher dari belakang dengan kancing rantai dari kedua sudut atas mantel.
Dalam liturgi, pluviale dipakai oleh uskup atau imam pada perayaan liturgi di luar Perayaan Ekaristi, seperti prosesi, adorasi atau astuti, pemberkatan dengan Sakramen Mahakudus, pemberkatan mempelai tanpa misa kudus atau upacara pemberkatan lain.
Posting Komentar