Di satu sisi, pluralitas dapat dimaksimalkan sebagai modalitas bagi pembangunan keadaban bangsa, tepatnya sebagai sarana untuk menyirami dan menyuburkan kerukunan dan harmoni sosial. Di sisi lain, pluritas justru kerap dijadikan alat pembenaran (justification) yang menghambat dan menghalangi kita dalam bekerja sama dan berbagi kebahagiaan dengan mereka yang berbeda.
Pada kenyataannya, oleh sebagian kecil masyarakat, perbedaan agama dan budaya justru dipandang sebagai ancaman serius bagi keberadaan dan keberlangsungan hidup kelompoknya.
Sadar Bahwa Kita Berbeda
Bagi kalangan muda, situasi sosial yang plural tersebut justru menghasilkan sikap apatis (kalau tidak mau disebut alergi) terhadap agama.
Lusius Sinurat (dalam Agama Kontra Kultur Modern pada harian Media Indonesia,09/01/07) mengurai alasan apatisme tersebut. Menurut Lusius, banyak orang muda yang hari-hari ini justru beranggapan bahwa agama mengecewakan mereka. Alasannya,
- Agama terlalu banyak mengumbar janji-janji gombal yang tak kunjung mampu ia realisasikan.
- Kehidupan beragama sudah terlanjur dipenuhi oleh ilusi-ilusi yang pada gilirannya membuat agama itu sendiri kehilangan kehormatan dan keanggunannya.
- Orang beragama kerap mengklaim diri mereka sebagai manusia-manusia pilihan Tuhan.
Masih menurut Lusius, apatisme orang muda terhadap agama di atas menantang agama untuk memaknai dirinya kembali, terutama soal klaim kebenaran dengan cara:
- Agama tidak memenjarakan kebenaran dalam doktrinnya, namun, sebaliknya ia harus “melirik” kebenaran di luar dirinya.
- Agama harus menghindari ekslusivitas berlebihan.
- Agama semestinya merupakan solusi bagi konflik sosial di tengah jaman. Pendek kata, agama harus menjadi “sebab” bagi keharmonisan sosial terlebih dahulu sebelum mengajak kaum muda untuk “beragama” dengan baik dan benar. Barulah kemudian mereka akan peduli terhadap realitas sosial. >> Selengkapnya!
Posting Komentar