di dekat kelopak yang bagus itu selalu siap siaga duri yang mencakar.
Bagi seorang yang terlalu semangat meraup dan menggenggam kejuruan itu
—pada awalnya ia melihat kelopak yang bagus itu,.
Maka ia akan melawan korupsi,
tak ingin menyogok dan tak mau disogok,
dan tak ingin mencuri.
Ia lantas menjadi jurubicara
bagi kelompok orang-orang jujur yang lidahnya terkatup.
Tapi—akhirnya, ia akan kecewa
dengan koreng di rohaninya dan jauh di biji matanya.
Kini, ia hanya melihat duri itu, bukan kuntum itu.
Ia pun melakukan pemerasan dan penyuapan
dan ia tak pernah berbuat salah
karena apa yang "salah" menjadi tak jelas baginya.
Mengapa?
Karena ia telah mempunyai pledoi (pembelaan) untuk ketidakjujuran
dan sebuah dalih untuk kekotoran:
bukankah manusia dilahirkan dalam dosa?
Jadi, wajar kalau dibalik tindakanya "selalu
ada sesuatunya", something beyond.
Di titik inilah
korupsi menjangkau ke sebuah pandangan tentang manusia
sebagai sesuatu yang tak bisa dituntut dengan nilai-nilai.
Tiap orang punya pamrih,
tiap orang untuk dirinya sendiri: something beyond, always.
Bagi pandangan ini,
bila kesucian bukanlah milik manusia
maka dosa harus diterima,
kecurangan, dusta, dan sejenisnya harus dimanfaatkan
bahkan pada saat ia dilakukan,
tanpa dimintakan: the king is never wrong !
Akhirnya,
untuk keluar dari prinsip seperti itu,
kita harus berani memandang sesuatu
ibarat "Ketika harapan mengenakan setangkai kembang hijau" :
Bila ketidakjujuran dilakkan semua orang,
bila kecurangan adalah sah
karena manusia tak bisa ditolong lagi,
mengapa dalam hidup tetap ada kepercayaan, persahabatan, kesetiaan?"
Apakah itu kebodohan kita?
Apakah kehidupan bersama itu sesuatu yanng muluk?
Yang jelas, sejarah memang buta,
tapi manusia tidak !
Lusius Sinurat
Posting Komentar