Pengantar
Manakah yang Anda pilih: memliki hasrat duniawi atau tiada hasrat sama sekali? Pertanyaan ini mungkin lebih tepat bila dijawab dari hati daripada pikiran. Dengan begitu, jawaban yang lahir pasti lebih bersifat subyektif daripada obyektif. Sebab, masing-masing dari kita harus menengok jauh dari lubuk hati kita sendiri.
Dari sanalah titik berangkat untuk menjawab pertanyaan diatas. Jadi, bukan pada penjelasan biblis, teologis, bahkan pada eksplorasi dan eksplanasi berputar balik kata ala filsafat.
Di satu pihak, seseorang yang menghalalkan nafsu, rasa cemburu, dan serakah akan melihat manusia bukan lagi sebagai mahluk yang luhur. Demi keuntungan pribadi atau demi masa depan yang direncanakan, si serakah akan dengan mudah menuduh orang lain, termasuk orang-orang di lingkaran terdekatnya tak lebih dari mesin pemanas nafsunya.
Di lain pihak, seseorang yang (pernah) berhasil melawan nafsunya dan terus bertekad untuk itu, akan memandang sesamanya lebih dari sekedar kelenjar hidup. Ia tak akan memandang orang lain sebagai musuh yang membuat hidupnya berhenti dan mati.
Pendeknya, apa banyak orang yang lebih memilih memuaskan nafsunya, namun ada banyak juga yang mampu mengatakannya. Melawan bukan berarti meniadakan, justru ia sadar bahwa ia memiliki hasrat, memiliki nafsu lagi, melawan nafsu tak semudah menghalalkannya.
Kita sepakat hanya ada dua kemungkinan tindakan yang kita lakukan bila berhadapan dnegna nafsu: melawan kenyataan menghalalkannya.
Kehidupan kaum selibat (hidup bakti, tidak menikmati demi kerajaan Allah) kiranya bisa menjadi contoh konkrit bagaimana manusia mampu mengontrol nafsu dan menyangkal hasratnya sendiri, berperang melawan kedaginganya. Dengan 3 kaul yang mereka ikrarkan (kemurnian, kemiskinan, ketaatan) dihadapan Allah dan sesama, dirangkumlah segala bentuk perlawanan terhadap nafsu/ hasrat.
Menyangkal Hasrat Timbulkan Kerumitan?
Sadar atau tidak, seorang selibat kerap menciptakan kerumitan baru sebagai akibat dari kompensasi/ sublimasi menyangkal hasrat kedaginganya. Menginginkan lawan jenis (baca : sex) diekspresikan dengan “memeluk” harta benda yang cantik dan mahal.
Ketidaktertarikan dengan lawan jenis dalam ikatan keluarganya diterjemahkan sebagai kebebasan mencari dan memiliki “keluarga kudus” sendiri yang selain demi kepuasan afeksi juga penyuiplai kotak sumbangan yang setiap kali menganga.
Kasih sayang dipahami sebagai siapa yang mengasih (memberi) akan disayang dan sebaliknya. Lagi, kalau memungkinkan ia akan mengangkat status keluarga (kandung)nya, tertentu kecuali anggapan bahwa “ sebagai pastor harusnya ia tidak begitu.” Ini sungguh real dan sangat memalukan!.
Dalam hidup berkomunikasi tak bisa dihindari kompetisi dan sayangnya kompetisi dalam konteks ini bukan kompetisi dalam prestasi intelektual ataupun dalam hal kebaikan. Dan kita semua tau kompetisi menelorkan pemenang dan si kalah ...”Qui Partitur Vincit” (Motto kerajaan Inggris; yang bertahanlah yang menang). Masalahnya siapa pemenang sudah diketahui sebelum bertanding.
Kemenangan menjadi milik mereka yang tangan dan kepalanya “telah diurapi”, dan bagi mereka yang belum ‘diurapi” harus berjuang atau minimal bertahan. Mereka yang bijak lantas mengutip jawaharlal nehru, “lebih baik kita berhasil menjadi sukma kita dan kalah [pemilik] ketimbang menang lewat cara yang salah”
Menyangkal Hasrat Demi Kesempurnaan Hidup
Melawan hasrat, sekali lagi, bukan perkara mudah. Ini sungguh dialami dan dihidupi kaum selibat. Karena mereka memulainya ( menanggapi panggilan allah) secara personal, maka solusi yang timbul pun harus diselesaikan secara pribadi. Ini soal plihan hidup dan dengan segala konsekuensinya. Bahayanya, persaingan pun secara alami ( naruliah) menguak antara si pemenang dengan si kalah tadi. Dan, bukan tak mungkin yang merasa diri pemenang akan kalah.
Sifatnya sangat terbuka. Si satu puhak mereka yang aru memulai akan sangat resah dengan kelakuan dari mereka yang sudah lolos untuk sementara. Sementara di pihak lain, mereka yang sudah lolos tadi amat nyaman dengan dirinya, apalagi saat berada diantara mereka yang baru melangkah.
Tragisnya kerap juga terjadi, bahwa si senior merasa nyaman dengan segala pernak-pernik di dalam sangkar mewahnya. Tak jarang mereka menghalalkan segala bentuk kerakusan. Perjuangan melawan hasrat, selain tanggung jawab personal, pada tingkat yang lebih parah, akan menjadi tanggung jawab bersama (komunal), minimal oleh rekan – rekan satu rumah (se-komunitas-nya).
Aturan (baca: Regula & Konstitusi). Dari masing – masing sekelompok religius, sebetulnya sudah baik ( aktual, real, relevan). Di dalamnya sudah jelas mana yang boleh dan tidak boleh, benar dan salah, pantas dan tidak pantas, dst. Perang antara dua paradoks ini (positif dan negatif) kemudian menyulut persaingan yang tidak sehat, sementara regula dan konstitusi tadi sudah menegaskan bahwa persaingan yang dihalalkan adalah persaingan dalam berbuat kebaikan. Memang hal ini manusiawai.
Menyangkal Hasrat Demi Integritas Diri
Penghayatan kaul sebagai sarana mengcover kedagingan, selain subyektif, juga menjadi t anggung jawab bersama (ordo, komunitas). Bagi kelompok tetentu dari setiap anggotanya dituntut kejujuran dalam menghayati kaul – kaulnya. Hal ini membuka penafsiran terbuka, hingga menjadi kompleks dan rumit (complicated). Rumit karena sebab: “ siapa yang menilai dan dinilai?” dan “ apa tolak ukurnya secara pasti?”.
Memang ada tuntutan yang sudah diatur dalam hukum (baca: Regula, Konstitusi, statuta). Kendati kerap terjadi kesalahan dalam memakai penghayatan subyektif tadi. Ini secara vertikal, sedangkan secara horisontal pertarungan subyek melawan hasratnya justru merembet ke relasi dengan subyek lain, yang juga sama-sama menghayati kaul – kaul tersebut.
Ada perang yang terjadi : kalah-menang, memalukan- dipermalukan, mengangkat-menjatuhkan, dll. Wujud lain hadir dalam sikap saling curiga, takut disaingi, takut membawanya luntur, dst. Akhirnya, kacau ini adalah perang, maka ada pihak yang harus kalah dan menganggap dia tidak dipilih Allah.
Biara Induk OSC
Posting Komentar