Selain 3 (tiga) cita-cita tertinggi di atas, orang Batak—lewat pengaruh positif Kristianitas yang mereka terima secara terbuka hingga menjadi bagian dari kebudayaan Batak itu sendiri—meyakini dan mengimani bahwa cinta Allah (holongni Debata) jauh lebih penting dari pada semua hal itu.
Orang Batak pada akhirnya menyadari bahwa ulos yang diberikan Hulahula (keluarga pihak istri dan keluarga pihak ibu) dalam ritus perkawinan adat itu akan lusuh dan rusak. Tetapi, "ulos dari Allah" kita tak akan pernah lusuh dan rusak. Ia akan tetap abadi.
Ulos yang dimaksud ialah ulos haluaon (pakaian keselamatan).
“Orang Batak menyadari bahwa hanya dengan ulos haluaon itu, manusia diselamatkan dari bencana, kelaparan, kematian, dan dari dosa-dosa kita; dan lebih jauh lagi memperoleh kehidupan abadi yang Ia janjikan (Anicetus B. Sinaga, 2004: 32; bdk. Yoh 3:16).
Makna teologis ini tampil apik dalam ritus perkawinan adat Batak Toba, yang nota bene sangat kental dengan pengaruh agama Kristen. Haluaon (keselamatan) tepatnya terliat saat pihak atau keluarga pihak laki-laki (pengantin pria) menerima ulos dan nasehat-nasehat dari Hula-hula (keluarga pihak pengantin wanita)-nya.
Ulos yang disematkan bersamaan dengan nasihat-nasihat dari Hula-hula tersebut diharapkan akan menambah kebahagiaan sang pengantin. Itu karena masyarakat Batak percaya bahwa ulos itu akan menyelimuti tubuh dan jiwa mereka (mangulosi badan dohot tondinami).
Tondi adalah forma tubuh yang membentuk hidup selain raga. Penyakit dan musibah yang timbul, oleh orang Batak diyakini karena tondi meninggalkan raga. Dan apabila tondi terlalu lama meninggalkan raga, orang tersbut akan mati.
Bila tondi seseorang dijerat oleh sombaon (kekuatan gaib) hingga ia jatuh sakit, maka tondi-nya harus dipanggil pulang untuk menyembuhkan orang sakit itu. (Anicetus B. Sinaga, 2004:367).
Dalam perspektif teologis, Ulos Haluaondari pihak laki-laki (Paranak) adalah ungkapan terima kasih kepada pihak perempuan (Parboru) dan hadirin. Biasanya, setelah menrima ulos haluaon itu, pihak pengantin laki-laki akan mengatakan,
"Ima tutu amang ! Nunga tutu hujalo hami ulos on. Sai mangulosi anak ma on tutu mangulosi boru di hami, mangulosi badan dan tondi nami. Sai martanda songon adian (peristirahatan), marhinambor (menggemburkan, menyiangi) songon dolok ma ulos pinasahatmuna on.
Horas ma hamu na manggabei, horas antong hami na ginabean. Naung sampulupitu ma, jumadi sampuluualu. Hata na uli hata na denggan i, sai ampe ma i di sambubu (ubun-ubun), tuak di abaranami Jala boanboannami ma i tu tonga ni jabu."
Kemudian hadirin menjawab,Imma tutu." (Anicetus B. Sinaga, 2004:33).
Ungkapan "imma tutu" (semoga demikian, semoga terwujud) mengungkapkan secara verbal persetujuan publik atas perkawinan kedua mempelai. Mereka menyetujui bersama, mengamini karunia yang dianugerahkan oleh Mulajadi Nabolon (Tuhan Sang Pencipta) kepada mereka.
Di titik inilah ulos akan membawa dampak positif, baik bagi si penerima maupun si pemberi, yakni tidak melahirkan rasa iri dan cemburu (late). Disaat yang sama, seluruh orang yang hadir pada pesta pernikahan itu bersyukur dan berterima kasih kepada Allah atas ulos haluaonyang diberikan kepada kedua mempelai.
Jauh lebih mendalam, bahasa simbolis dalam ritus mangulosi bukanlah semata-mata menggambarkan fakta-fakta yang dapat diteliti secara historis.Sebaliknya ritus ini mengungkapkan makna yang tersembunyi dibalik fakta-fakta itu.
Dalam ritus perkawinan adat Batak, ulos adalah lambang kesuburan, hidup dan tata/hukum dunia. Ringkasnya, ulos merupakan lambang Banua Ginjang (dunia atas, langit) atau tanah surgawi (ulos jau) yang diperebutkan oleh para dewa.
Ya, ulos itu simbol penangkal setan, penyembuh rasa sakit dan pemberi kesejahteraan serta kebahagiaan (Anicetus B. Sinaga, 2004:135, 220-221, 355). Atau, secara biblis Ulos adalah ungkapan "berbagi", sebagaimana dikatakan Yesus dalam Yohanes 19:24, “Mereka membagi-bagi pakaianKu.”
Posting Komentar