Tahap Persiapan ini mencakup 4 hal penting, yakni merias pengantin, membenahi ampang, marhusip dan marhata sinamot, serta penutup. Mari kita lihat satu per satu>
1. Merias mempelai pria dan wanita
Merias Mempelai pria dimulai dengan penyucian diri. Ia mandi air jeruk purut dan mantra, lalu didandani dengan pakaian khusus yang anggun. Ia mengenak baju teluk belanga yang gagah dan menawan lengkap dengan hiasannya: "Pantalonnya bergaya Aceh yang lincah dan di atasnya terlilit sarung sutera. ‘Mahkotanya’ dari kain bertatah dengan puncak menganjung, disebut tanduk boang" (Anicetus: 13-15).
Dia menyandang ulos mangiring jau, kain Padang keemasan bertatah manik-manik, disilangkan pada dada. Lantas ia mengenakan ikat pinggang perak berkepala emas. Sebuah pisau bertatah (semacam ’keris’) berkepala gading (sioa) disematkan pada ikat pinggang.
Adapun dekorasi finishing touch mempelai pria adalah sematan bunga di dada, anting-anting pria, selendang di tangan (bdk. Mandala dalam agama Tantrisme (India) yang melambangkan awal dari kedelapan arah mata angin, lambang dari keseluruhan dunia manusia yang dihuninya, Anicetus: 15). Masing-masing simbol-simbol ini bermakna:
- Celana dan ikat pinggang melambangkan kepahlawanan pria dan kesigapan bekerja atau berjuang.
- Sioa melambangkan kepahlawanan, keseluruhan mahar.
- Piso atau lembing atau pedangsering, mata mahar yang unggul melambangkan kepahlawanan, tanda keamanan dan perlindungan terhadap isteri. Piso juga dilihat sebagai lambang membrum virile yang meretas hymen mempelai wanita.
- Ulos mangiring jau melambangkan kesuburan pria.
- Boang (mahkota) melambangkan Kehormatan dan raja, pemimpin keluarga terhormat. Dalam tatanan yang demikian ia harus meresapkan makna batinnya dengan memohon restu Allah, dewa-dewi, arwah nenek moyang dan tondi (‘jiwa’) calon mertuanya.
- Baju patuh (baju bertatah dengan lengan panjang dan badan pendek) yang melambangkan Kecantikan dan kemewahan; kepatuhan pada suami. Bahwa bagian bawah agak pendek, ini adalah indikasi kepatuhan ranjang. Sanggul besar bertusukkan tiga peniti emas (ke atas, kanan dan kin) sebagai lambang kesuburan yang sanggup melahirkan putra dan putri.
- Sibong (anting-anting emas yang besar) dan omas duri (anting-anting emas yang ha1us dan berduri sebagai hiasan telinga) yang melambangkan Kemakmuran dan keindahan.
- Kain sarung sutera Aceh yang lembut dan indah atau ulos sibolang yang halus dan tipis yang melambangkan kesuburan berkat rohani dan jasmani yang tercurah dan pihak mempelai wanita (Hula-hula) dalam bentuk kesuburan dan kesejahteraan kepada pihak mempelai pria. Sebutan ulos di sini juga berarti "keseluruhan balas mahar yang diserahkan pihak mempelai wanita kepada pihak mempelai pria."
- Selendang mempelai wanita yang indah, serasi dan menawan yang melambangkan dengan kelengkapan ini sang pengantin harus pula menyeru berkat restu ilahi dan ilahi, roh-roh nenek moyang dan orang tuanya.
2. Membenahi Ampang
Ampang adalah simbol premoridal dan simbol kesatuan seluruh dunia mempelai pria, seluruh kerabatnya, seluruh kerajaannya. Bentuknya bulat dalam arti penuh, lengkap dan bulat. Itulah sebabnya ampang ini disebut “tempat mahar, makanan dan lauknya (Ompu Sanggam, 1972:14).
Dalam upacara perkawinan ampang digunakan sebagai tempat nasi khusus (sipanganon) dan daging bermakna (jambar) yang dipisahkan secara rapi. Daging, dalam pesta perkawinan adalah tanggungan dan tanda mahar khusus bagi pria.
Setelah melengkapinya dengan lauk-pauk lainnya maka ia ditutup dengan sejenis ulos mahal dan bermakna, yakni Ulos Ragidup / Ragi Idup yang melambangkan kesuburan dan usia lanjut. Selain ulos ragidup, ampang juga ditutup dengan Ulos Ragi Hotang yang merupakan tanda ketangguhan hidup dan kegagahan.
Bila semuanya telah tuntas dan rapi, rombongan itu berangkat ke tempat mempelai wanita. Sengaja mereka bercakap-cakap dalam nada gembira dan agak keras, sebagai pengumuman kepada orang-orang yang ada di kampung yang dilewati. Setiap orang disapa dengan lembut sambil mengundang ke pesta pernikahan. Upacara awal ini diperuntukkan bagi kerabat terdekat dari kedua-belah pihak pengantin.
Di rumah mempelai wanita, kedua calon mertua dengan keluarga dekatnya menyambut rombongan. Setelah ampang disambut dengan hormat lantas ditaruh di tempat khusus. Barulah mereka sating bersalaman dan menghormat sambil berkenalan dengan teliti, sebab sejak itu mereka menjadi terikat kekeluargaan serta menjadi lingkup pergaulan yang akrab.
Lantas mereka dipersilahkan duduk di bagian rumah yang dikhususkan bagi pihak keluarga mempelai pria. Di rumah mempelai wanita pun, sejak pagi-pagi buta terjadi kerepotan persiapan yang bersamaan dengan keluarga mempelai pria. Di sana juga terdapat dua pusat perhatian yang menonjol, yakni pemberkatan kedua mempelai dan pesta perkawinan.
3. Marhusip dan Marhata Sinamot
Disebut marhusip (berbisik), sebab hasil pembicaraan antara kedua belah pihak harus dirahasiakan sampai “Hari H” upacara perkawinan. Istilah marhusip juga menunjuk pada belum resminya pembicaraan kedua belah pihak (parboru dan paranak), dan oleh karenanya tidak perlu diketahui oleh umum.
Demikian dikatakan Sihombing, “Umbahen na nidok pe songon i goar ni ulaon i, na mandok na so resmi dope pangkataion i jala ndang pola dope porlu botoon ni umum, ai hira songon holan na masidooan roha dope disi." (TM. Sihombing, op. cit., hlm. 45).
Makna dari upacara ini terkandung dalam dua umpasa berikut ini: “manat unang tartuktuk, dadap unang tarrobung” atau “jolo nidodo asa hinonong” Dari kedua umpasa ini adalah menekankan perlunya persiapan yang sungguh-sungguh untuk segala sesuatu yang berkaitan dengan upacara tersebut.
Demikian dikatakan Sihombing, “Umbahen na nidok pe songon i goar ni ulaon i, na mandok na so resmi dope pangkataion i jala ndang pola dope porlu botoon ni umum, ai hira songon holan na masidooan roha dope disi." (TM. Sihombing, op. cit., hlm. 45).
Makna dari upacara ini terkandung dalam dua umpasa berikut ini: “manat unang tartuktuk, dadap unang tarrobung” atau “jolo nidodo asa hinonong” Dari kedua umpasa ini adalah menekankan perlunya persiapan yang sungguh-sungguh untuk segala sesuatu yang berkaitan dengan upacara tersebut.
Umpasa lain mengungkapkan agar setiap orang yang ingin menikah terlebih dahulu memperhitungkan kemampuan finansialnya: “Jolo tinaha garungniba, niantan sulangat-niba.”
Acara ini biasanya dilangsungkan di rumah pihak parboru (pengantin perempuan). Sebelum acara marhusip dimulai, pihak paranak sebaiknya memberitahukan terlebih dahulu maksud kedatangan mereka dan jumlah mereka.
Setelah ritus marhusip selesai, lalu diadakan marhata sinamot (penentuan mas kawin atau mahar). Tata cara yang biasa digunakan adalah sebagai berikut:
Acara ini biasanya dilangsungkan di rumah pihak parboru (pengantin perempuan). Sebelum acara marhusip dimulai, pihak paranak sebaiknya memberitahukan terlebih dahulu maksud kedatangan mereka dan jumlah mereka.
Setelah ritus marhusip selesai, lalu diadakan marhata sinamot (penentuan mas kawin atau mahar). Tata cara yang biasa digunakan adalah sebagai berikut:
- Paranak dan rombongannya berangkat pada waktu yang sudah ditentukan menuju kampung parboru untuk marhata sinamot (membicarakan perihal maskawin) dan segala sesuatu yang akan dilakukan sehubungan dengan pernikahan putera-puteri mereka. Pada saat itulah parboru menerima bohi ni sinamot (panjar maskawin) yang disebut tanda burju (simbol kebaikan).
- Setelah itu paranak dan parboru memberikan uang ingotingot kepada semua pihak yang ikut serta dan terlibat dalam upacara ini.
"Borhat ma paranak dohot rombonganna di ari naung tinontuhon tu huta ni parboru marhata sinamot dohot sude siulaon na mardomu tu parbagasaon ni anak dohot boru. Di si ma dijalo parboru sian paranak “bohi ni sinamot” na ginoar huhut “tanda burju”. Dung i dilehon paranak dohot parboru ma hepeng “ingotingot” tu angka na dohot tu parhataan i."
Kedua upacara ini diselenggarakan sesuai dengan konsep perkawinan menurut adat Batak-Toba, dimana setiap perkawinan adalah kesempatan untuk mengikat kekerabatan (SA. Niessen, op. cit.: 127). Kekerabatan baru ini dilakukan dengan membuat pesta dan tukar-menukar ‘pemberian’. ‘Siapa menerima dan membalas pemberian dengan apa’ diatur dengan rapi dalam adat.
Sekurang-kurangnya orang tua kandung mempelai wanita, saudara ibunya, saudaranya serta salah seorang yang diajukan sebagai sahabat dekatnya (todoan) mutlak harus mendapat bagian dari mahar.
Sebagai balasnya mereka juga harus menyediakan pemberian, umumnya berupa ulos, beras, ikan, ladang atau sawah. Sebaliknya dan pihak keluarga mempelai pria akan diserahkan uang, barang berharga (piso, pusaka), daging, ternak.
Ritual marhusip ini harus lebih dahulu dirancang dan direncanakan dalam 'bahasa' tawar-menawar. Untuk merancang upacara ini, maka dengan membawa anggota keluarga dekat, pihak mempelai pria berkunjung ke rumah pihak mempelai wanita, yang juga sudah mengundang kerabat yang paling bersangkutan dengan adat perkawinan itu.
Besarnya mahar, baik seluruhnya maupun bagian-bagiannya, ditentukan pada saat itu, kendati penyerahannya akan dilakukan pada saat perkawinan. Juga ditentukan barang apa akan dibawa atau diserahkan oleh keluarga mempelai wanita, siapa membayar pesta dan kapan diadakan pesta perkawinan. Bila semuanya rampung, mereka pun pulang mempersiapkan hal-hal yang perlu untuk pesta perkawinan.
Sebagai balasnya mereka juga harus menyediakan pemberian, umumnya berupa ulos, beras, ikan, ladang atau sawah. Sebaliknya dan pihak keluarga mempelai pria akan diserahkan uang, barang berharga (piso, pusaka), daging, ternak.
Besarnya mahar, baik seluruhnya maupun bagian-bagiannya, ditentukan pada saat itu, kendati penyerahannya akan dilakukan pada saat perkawinan. Juga ditentukan barang apa akan dibawa atau diserahkan oleh keluarga mempelai wanita, siapa membayar pesta dan kapan diadakan pesta perkawinan. Bila semuanya rampung, mereka pun pulang mempersiapkan hal-hal yang perlu untuk pesta perkawinan.
4. Akhir dari Tahap Persiapan
Syarat pertama untuk persiapan ini adalah adanya kesepakatan antara paranak dan parboru tentang upacara yang akan dilangsungkan. Biasanya pihak yang mempersiapkan upacara adalah pihak parboru dibantu oleh dongan sabutuha-nya, dongan sahuta dan pihak-pihak lain yang sudah ditunjuk (tutur na asing).
Sepertiga kerugian panjuhuti (biaya pesta) biasanya ditanggung oleh parboru dan dua per tiganya ditanggung oleh paranak. Di jaman sekarang, terutama di antara orang Batak Toba yang tinggal dan menetap di kota-kota besar, terdapat perbedaan dalam cara melakukannya.
Sepertiga kerugian panjuhuti (biaya pesta) biasanya ditanggung oleh parboru dan dua per tiganya ditanggung oleh paranak. Di jaman sekarang, terutama di antara orang Batak Toba yang tinggal dan menetap di kota-kota besar, terdapat perbedaan dalam cara melakukannya.
Ada 3 (tiga) kemungkinan yang terjadi menengenai siap yang harus mempersiapkan upacara yang akan dilangsungkan:
- Parboru yang keseluruhan pesta, namun semua kerugian pesta ditanggung oleh paranak.
- Paranak yang menyiapkan dan menanggung semua kerugian pesta. Cara ini disebut taruhon jual. Konsekuensinya, semua boras (beras, kado yang didapat dari pesta) hanya diterima oleh paranak.
- Pada waktu marhata sinamot, paranak menggabungkan kerugian pesta dengan sinamot tanpa membuat perincian. Cara ini disebut sitombolo. Kalau parboru setuju, maka merekalah yang mengadakan pesta sesuai dengan kemampuannya.
Posting Komentar