Prosesi "pemberkatan" perkawinan dalam adat Batak adalah pemberkatan agama layaknya perkawinan dalam Gereja. Petugasnya adalah seorang imam berpakaian kemegahan lengkap dengan tongkatnya, tunggal panaluan, lambang trinitas Batak dan tripartite Dunia.
Rasanya di sinilah letak ratum-nya perkawinan dalam adat Batak Toba. Sering ia dibantu oleh dua orang pendamping. Pemberkatan ini menyangkut pemberkatan materi, perjanjian perkawinan, pinggan pengantin, dan perjanjian perkawinan itu sendiri.
1. Pemberkatan Materi
Imam dan pendamping masuk membawa materi yang hendak diberkati:
- cawan putih berisi air (simbol hidup dan kesucian) yang diisi jeruk purut (simbol pengusir bala) dan
- ranting beringin (simbol pohon kehidupan)
- lantas sesumpit kecil beras (simbol keterbukaan), dan ulos (simbol kehangatan hidup). Jenis kain yang bermacam-macam, tetapi yang sangat khas adalah ulos lobulobu, kain tenunan sarung bulat.
Tata upacaranyaadalah sebagai berikut:
“Dengan doa dan mantra yang indah dan mendalam, menyeru Allah dan penghuni surga, roh nenek moyang dan penghuni alam, ia menguduskan air dan beras secara berurutan. Lantas Ia memberkati tikar pengantin dan ulos. Hadirin tetap duduk dengan hormat dan khidmat.”
Selain ketiga materi di atas tedapat juga pinggan pengantin yang diberkati dengan cara berikut:
- sebuah tikar baru yang tak bercacat digelar: bagian ujung untuk tempat duduk parboru dan pihak Hula-hula
- di atas tikar tersebut ditaruh sebuah pinggan berhias yang besar yang disebut pinggan pasu (pinggan berkah)
- di atas pinggan pasu-pasu diatur nasi pengantin (nasi kuning) dan ikan besar yang dimasak dengan cermat — kadang-kadang masih ditambahkan 4 (empat) ekor ikan kecil-kecil.
- Indahan (nasi) - melambangkan hidup.
- Dengke (ikan, pemberian khusus hulahula kepada boru) - melambangkan kesuburan.
- Rudang (daun bunga yang wangi yang diletakkan di samping kiri dan kanan ikan) - melambangkan kewangian mempelai wanita.
- Bunga Merah (biasanya digunakan bunga kembang sepatu) - melambangkan kegagahan mempelai pria.
- Air bersih yang diletakkan di bagian depan pinggan - melambangkan kehidupan.
- Dua butir telor yang juga diletakkan di bagian depan pinggan - melambangkan awal hidup.
- Sirih (napuran) yang diletakkan di atas pinggan - melambangkan Fassinasi perempuan dan keakraban.
(2) Forma: Perjanjian Perkawinan
Setelah ritus pemberkatan tanda-tanda dan simbol-simbol perkawinan, upacara dilanjutkan dengan ritus pengucapan janji perkawinan. Namun, sebelum masuk ke dalam pengucapan janji nikah dari kedua mempelai, terlebih dahulu imam memberi pengantar.
Imam menghadap kedua pengantin dan menyapa mereka:
“Melaksanakan adat nenek moyang, yang sudah dimeteraikan oleh Allah Bahagia, kami akan mengikat rumah tangga kalian... supaya melanjutkan ke turunan…” (W. Hutagalung, [.]:210)
Lantas imam menyampaikan “khotbah perkawinan” dan menasihati mereka agar mereka:
".... beranak-cucu, seia-sekata tanpa cekcok, berumur panjang dalam cinta saling menopang, memoles luka di masa cekcok. Satu sama lain hendaklah mengagumi sifat indah dan melupakan hal-hal yang kurang berkenan. Hormat terhadap orang tua dan tua-tua kampung serta teladan dalam memenuhi adat. Pergaulan yang harmonis dengan sesama, sambil menolong orang berkekurangan agar ditolong masa sulit. Hendaklah cekatan mendengar petuah dan seni ketrampilan dan belajar dan orang arif cekatan. Hendaklah bekerja keras membangun rumah tangga agar anak-anak terpandang di mata orang...."
Setelah mereka mengiakan petuah itu maka mereka melakukan janji perkawinan, yang lebih dahulu diucapkan oleh imam lantas mereka ulangi.
Isi dari janji perkawinan (Anicetus, 1990:17) itu adalah sebagai berikut:
“Bilur bunga enau; engkau takkan pisah daripadaku; selama hayat dikandung badan. Pipit sidaodao; takkan menjauh pisah, aku daripadanya, dia daripadaku. Puncak Gunung Martimbang; takkan kumadu dia, dan dia terhadapku. Mayang enau Sigaol; ayam jago mengkilat. jiwa kita sudah campur; badan takkan berpisah.”
Isi perjanjian nikah ini mengeksplisitkan sifat perkawinan dalam masyarakat Batak Toba, yakni indissolubilitas (tak terceraikannya) perkawinan, karena dibangun di atas kesatuan tubuh (badan) dan kesatuan jiwa/roh (tondi) dari kedua mempelai.
Adapun makna perkawinan adat Batak Toba dapat kita rumuskan dari isi janji perkawinan di atas:
(3) Pemberkatan Perkawinan
Ritus selanjutnya adalah memberkati dan membaktikan perkawinan kedua mempelai dengan doa berikut ini:
- bersifat mengikat sampai akhir hayat (tak terceraikan); tidak mengenal pisah meja, pisah ranjang dan pisah rumah;
- bersifat monogami, akibatnya dilarang poligami dan poliandri (kendati dengan alasan tertentu, misalnya karena istri mandul, sang suami diizinkan untuk menikah kembali); dan
- perkawinan menjadikan kedua mempelai satu jiwa-raga.
(3) Pemberkatan Perkawinan
Ritus selanjutnya adalah memberkati dan membaktikan perkawinan kedua mempelai dengan doa berikut ini:
“Allah Tuhan Trimurti (Batara Guru, Soripada dan Mangalabulan), yang menghuni langit tertinggi, kiranya turun pada kesepakatan ini. Sekarang, Tuhan, Putra-putri kami sudah seia-sekata dalam cinta dan kesepakatan. Engkaulah Tuhan, pendasar rumahtangga, maka anugerahkan, Tuhan, banyak keturunan, lahirnya putera, lahirnya puteri, keberuntungan pencaharian. Limpahkan panen, biakkan ternak, selamat walafiat ! Kiranya makanan ini menjadi kurban jiwa dan raganya, agar mereka tak lupa makan. Kiranya menjadi kekuatan dan kesehatan, bagi mereka yang dipersatukan hal ini. Tatap dan pandang, ya Tuhan, kami ciptaanMu, siang dan malam, agar terhindar dari cemas dan bala, bebas dan mimpi buruk, semoga melimpah keberuntungan.” [4]
Dari muatan doa pemberkatan ini tampak jelas cita-cita hidup perkawinan adat Batak Toba, yakni:
- Hagabeon (kesuburan keturunan, keturunan yang banyak),
- Hamoraon (kekayaan yang melimpah), dan
- Hasangapon (kehormatan, kesehatan dan usia lanjut).
Ini tentu sangat bersifat manusiawi dan duniawi; tak dikenal kebahagiaan surgawi.
(4) Tahap-tahap Ritus Pemberkatan
Pemberkatan ini dilaksanakan dalam tahap-tahap berikut:
- Imam mengenakan simbol-simbol perkawinan - Dalam mengenakan simbol-simbol perkawinan kepada kedua mempelai, sang imam mengenakan ulos perkawinan yang sudah diberkati. Bila yang dikenakan adalah ulos lobu-lobu (Ulos lobulobu berasal dari adat kuno dan kini makin jarang dipakai (SA. Niessen: 1985:160), maka makin jelaslah kesatuan fisik mereka, sebab kedua mempelai dimasukkan ke dalam satu sarung. Bila dipakai jenis ulos lain, maka ulos yang ditaruh melantas lewat bahu, mempersatukan mereka, sebab kedua rambu mencapai pangkuan masing-masing.
- Imam memerciki kedua mempelai dengan air - Imam memerciki mereka dengan air lantas menaruh beras yang sudah diberkati di atas kepala masing-masing. Biasanya beras ini ditaruh di atas kepala keempat orang tua mereka (masing-masing ayah-ibu dari kedua mempelai).
- Kedua mempelai mulai makan - saatnya kedua pengantin mulai makan: mempelai meminumkan air kepada mempelai wanita; sebaliknya, mempelai wanita membalasnya dengan suapan makanan kepada mempelai pria.
- Seluruh hadirin dipersilahkan makan - seluruh hadirin (undangan) dipersilahkan makan bersama. Rasanya di sinilah letak pengesahan secara formal-sosial atau ratum-nya perkawinan dalam adat Batak Toba; dan sejak saat itu perkawinan siap untuk dipestakan dan dikukuhkan dengan segala hukum kekerabatan (adat pardongan saripeon) di depan khalayak, seluruh undangan yang hadir. Untuk itu, seluruh undangan pesta sudah berkumpul di luar rumah dan mempersiapkan makan bersama. Pembagian tempat juga ditentukan yakni bagian boru (pihak mempelai pria) menghadap rumah mempelai wanita (hulahula). Kelompok mempelai wanita duduk tepat di depan rumah mereka menghadap pihak boru. Kelompok ‘saudara’ mempelai pria beserta tua-tua kampung duduk disebelah kanan hulahula. Pengantin boleh tinggal di rumah atau di beranda agar dilihat khalayak.
Keseluruhan bagian upacara adat ini dimasukkan ke dalam tata-cara sibuhabuhai sebagaimana sudah disinggung dalam bagian sebelumnya. Mengapa? Sebab, sebagaimana dikatakan Situmorang (Situmorang, 1977:36) , inilah awal dan kesuburan-keturunan dan keselamatan. Kiranya hal ini tepat; bukankah tujuan perkawinan dalam adat Batak Toba adalah kesuburan keturunan?
Dalam hubungan keluarga yang menganggap hulahula adalah “matahari kehidupan” bagi boru, yang harus dihormati, maka ini disebut sibuhabuhai karena merupakan permulaan ‘sembah’ boru kepada hulahula pada saat penyerahan putri waktu pernikahan. Selanjutnya setiap peristiwa penting dalam penghayatan homo religiosus adalah permulaan suatu dunia baru, bumi baru, awal dan serentang kehidupan.
Itulah sebabnya dirasakan sebagai imperatif bahwa upacara ini dimulai pagi-pagi sekali, sebab hari adalah lambang usia, yang dimulai pagi, berkulminasi tengah hari dan berakhir waktu senja. Inilah nasib dan tujuan hidupnya.
Selanjutunya: Tahap Pesta Adat
Topik Pembahasan: Tahapan Ritus Perkawinan Adat Batak Toba
Posting Komentar