Bagian ini memuat perkembangan tradisi liturgi perkawinan dalam Gereja Katolik yang selalu berkembang dan disesuaikan dengan konteksnya. Pemaparan inilah yang dibentangkan sebagai jendela untuk menatap ritus perkawinan adat Batak-Toba.
Asal-usul Upacara Perkawinan
Asal usul upacara perkawinan tak dapat diketahui secara pasti. Artinya, persoalan historis tentang perkawinan dalam kontek pertambahan populasi manusia masih misteri. Kebudayaan memandang perkawinan sebagai persoalan sosial dengan tujuan untuk membangun relasi persahabatan atau hubungan sosial.
Perkawinan dipandang sebagai sebuah cara untuk mempersatukan individu dalam sebuah keluarga baru, di mana hak dan kewajiban pasangan dan keturunannya untuk menyelenggarakan keberlangsungan masyarakat dijamin. Dalam konteks ini, perkawinan itu bersifat sosial yang agung, sakral dan religius.
Arti Perkawinan
Menurut Gereja Katolik, perkawinan merupakan salah satu bentuk hidup, sakramen serta sebuah sarana untuk melaksanakan misi Gereja. Bagi Gereja Katolik, perkawinan merupakan sebuah lembaga suci, bernilai luhur dan sangat penting dalam kehidupan, kesucian dan misi Gereja.
Sebabm melalui perkawinan, terbentuklah keluarga, yang merupakan "sel utama dan pertama" (Gratissimam Sane No. 4) sekaligus jalan umum dan efektif bagi misi Gereja secara khusus (Redemptor Hominis No. 14).
Berkaitan dengan ada, peran dan fungsinya yang sangat penting di atas , maka perkawinan itu mempunyai ciri kodrati, yakni kesatuan dan ketidak-tercerai-an yang memperoleh jaminan khusus atas dasar sakramen (KHK, kan. 1056). Kesatuan dan ketidakterceraian itu mutlak bagi kehidupan pribadi kedua mempelai, anak-anak yang mereka lahirkan dan masyarakat pada umumnya ( Gaudium et Spes No. 49).
Dalam perkembangannya, para teolog mempertanyakan implikasi aspek sakramental perkawinan sebagaiman disebut di atas:
- Apakah perkawinan sungguh identik dengan kontrak sebagaimana dikatakan oleh Paus Pius IX?
- Apakah efek sakramental perkawinan itu berasal dari perjanjian yang diucapkan waktu perayaan perkawinan?
- Apakah Gereja Katolik perlu bertahan pada pandangan St. Agustinus dan teolog abad pertengahan lain yang menekankan entitas metafisik perkawinan, yang tidak dapat dipisahkan selain oleh kematian pasangan?
- Apakah sifat perkawinan yang tidak dapat dipisahkan lebih hanya persoalan idealisme moral dari pada hukum ilahi?
Namun sebagian teolog lainnya justru berpendapat bahwa perkawinan itu bersifat radikal sakramental karena membangun dan mengekspresikan cinta antara Kristus dan Gereja.
Konsekuensinya, apabila perkawinan tidak lagi sakramental maka ia dapat berakhir dengan perceraian. Artinya, orang Katolik yang sudah menikah tak bebas untuk menikah kembali. Apabila mereka melakukannya, maka secara otomatis mereka keluar dari sakramen dan menyangkal sakreamen Rekonsiliasi hingga mereka mengakui perzinahan yang mereka lakukan.
Sejak KONSILI TRENTE, persoalan anulasi (pembatalan perkawinan) telah dijelaskan secara tegas dan jelas: kontrak perkawinan dapat dinyatakan batal atau hilang hanya jika salah satu pihak tidak dapat memenuhi perjanjian secara penuh. Penyebabnya antara lain unsur paksaan, tidak mampu secara seksual (impoten), atau tidak menerima dispensasi dari halangan perkawinan sah yang ditetapkan Gereja.
Pengadilan Gereja (Tribunal) menginterpretasikan pembatalan perkawinan secara lebih luas, yakni apabila seseorang secara psikologis tidak dapat memberikan perjanjian yang penuh dan matang, atau secara emosional tidak mampu untuk membuat komitmen seumur hidup kepada pasangan, maka perkawinan yang sah pada dasarnya tidak terjadi sejak awalnya.
Maka, satu-satunya cara agar seorang Katolik dapat menikah kembali tanpa kehilangan keanggotaannya dalam Gereja Katolik adalah dengan membatalkan perkawinan mereka (anulasi).
Asal tahu saja, kurang lebih selama 800 tahun Gereja Katolik beranggapan bahwa kontrak perkawinan yang sah tidak dapat dipisahkan, baik oleh hukum Gereja tetapi juga oleh hukum ilahi.
Pendekatan filosofis secara personal di atas mengandaikan bahwa perkawinan tidak lagi diikat secara legal oleh kontrak, melainkan oleh relasi hidup antara dua orang yang menikah. (Joseph Martos: 449).
Anulasi perkawinan itu membutuhkan proses, dan meskipun kehendak hakim Gereja menentukan lewat penyelidikan kanonik. Kebanyakan umat Katolik yang bercerai tidak menyadari bahwa mereka sesungguhnya bisa memperoleh hak pembatalan perkawinan.
Pembatalan perkawinan juga dapat digunakan untuk kepentingan legitimasi perceraian sipil. Pertanyaannya, apakah perkawinan itu sungguh menjadi “pintu menuju kesucian”?
Meskipun sakramentalitas perkawinan telah dirumuskan dalam kata-kata yuridis, namun Gereja meyakini bahwa perkawinan tetap menjadi “pintu menuju kesucian” yang terjadi dulu dan saat ini.
Pada Abad Awal Kekristenan, Surat Paulus kepada jemaat di Efesus (perkawinain pasangan pengantin sebagai kesatuan antara Kristus dan Gereja) belum dijadikan sebagai landasan teologis perkawinan. Aspek ketaatan Gereja kepada Kristus itu hanya digunakan untuk menjelaskan bagaimana suami dan isteri harus bersikap satu sama lain. Itu sebabnya sejak awal perkawinan dipandang suci, namun bukan sakramen.
Teolog agung dari Zaman Patrisi, St. Agustinus dari Hippo mengadopsi analogi "relasi Gereja - Kristus) di atasl dalam dua cara, yakni (1) relasi manusiawi sebagai suatu tanda relasi ilahi, dan (2) relasi ilahi sebagai suatu tanda relasi manusiawi. Agustinus menekankan kesatuan kekal antara Kristus dan Gereja menggambarkan kesatuan permanen suami-isteri.
Pada Abad Pertengahan, analogi Paulus masih tetap digunakan. Hanya saja perkawinan dimengerti oleh Gereja sebagai sakramen dalam konteks pemikiran Katolik yang ketat. Para teolog Abad Pertengahan melihat perkawinan sebagai sakramen dalam arti luas, yakni sebagai suatu tanda inkarnasi kesatuan spiritual Kristus dan Gereja.
Pandangan para teolog Abad Pertengahan di atas masih diteruskan di zaman modern untuk mengafirmasi dimensi sakramentalitas perkawinan. Perkembangan pemahaman teologis dan pemahaman liturgis tentang perkawinan kenyataannya tak muncul begitu saja. Pemahaman itu selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
Hingga akhirnya, berdasarkan pengalaman historis dan studi biblis, teologis, pastoral dan studi liturgis dirumuskanlah pandangan Gereja mengenai Perkawinan.
Fokus Pembahasan
- Teologi Perkawinan Abad Awal Kekristenan
- Teologi Perkawinan Pada Zaman Patrisi
- Tradisi Liturgi Perkawinan Pada Abad I-IV
- Liturgi Perkawinan Abad IV-XIV
- Teologi Perkawinan Pada Abad Pertengahan
- Teologi Perkawinan Pada Abad Modern
- Liturgi Perkawinan Pada Konsili Vatikan dan Sesudahnya
Bibliografi
- Agustinus, On Marriage and Concupiscence II, 21.
- Bernard Boli Ujan SVD, “Ke Arah Perkawinan Inkulturatif dan suatu upaya proses di Keuskupan Agung Ende” dalam Jurnal SAWI N0.8/1993.
- Colombo G., “Matrimonio” dalam Nuovo Dizionario di Liturgia, a cura di D. Sartore cs., Roma, 1983.
- Edward Schillebeeckx, Marriage: Human Reality and Saving Mystery. New York: Shed & Ward, 1965.
- John B. Pasaribu, Pengaruh Injil dalam Adat Batak. Jakarta: Penerbit Papas Sinar Sinanti, 2002
- John H. Miller, Fundaments of the Liturgy. Notre Dame, Indiana: Fides Publishers Association, 1959
- Joseph Martos, A New Conceptual Context for the Sacramentality of Marriage. London: The College Theology Society 1995
- Joseph E. Kerns, The Theology of Marriage: The Historical Development of Christian Attitudes toward Sex and Sanctity in Marriage. New York: Sheed and Ward, Inc., 1964.
- JP. Sarumpaet, Kamus Batak-Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1994.
- Karl Rahner, Everyday Faith. London: Burns & Oates, 1967.
- Maurice Eminyan, Teologi Keluarga. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
- Walter Kasper, The Theology of Christian Marriage. New York: Crossroad, 1983
Posting Komentar