Keseluruhan penjelasan di atas menjadi pintu masuk dalam mengembangkan tulisan ini. Keberadaan perkawinan adat Budaya Batak Toba terkait erat dengan irama hidup, saat-saat penting yang disertai doa-doa, dan upacara tertentu.
Kiranya elemen ini “sejajar”: dengan makna sakramen-sakramen sebagai ungkapan iman manusia pada saat-saat penting dalam hidup, sesuai dengan irama hidup manusia.
Di sinilah titik temu antara tata upacara perkawinan adat Batak dengan upacara perkawinan Gereja (ritus Romawi). Bagi penulis, hal ini patut dikembangkan lebih lanjut, agar perayaan sakramen perkawinan itu sungguh menjelma dalam kebudayaan Batak Toba.
Inkarnasi dari hidup dan pesan Kristiani yang terdapat dalam upacara perkawinan adat Batak Toba itu tidak hanya dapat mengungkapkan dirinya melalui unsur-unsur yang sesuai dengan dirinya sendiri (human reality), tetapi dapat juga menjadi suatu prinsip yang menghidupkan, mengarahkan dan mempersatukannya, menjelmakan dan membuatnya sedemikian sehingga menyempurnakan “suatu ciptaan baru”, saving mystery.
Kendati demikian, pertanyaan-pertanyaan yang sangat penting masih harus dimunculkan di sini: batasan apa saja dari ritus perkawinan adat Batak Toba yang dapat diterima oleh Gereja?
Apakah simbol-simbol yang sudah permanen dalam ritus perkawinan adat Batak Toba dapat diubah menjadi simbol-simbol yang mengarahkan mereka (yang masih mempraktekkan ritus perkawinan adat tersebut) kepada Allah yang hidup dan wahyuNya dalam Kristus? Apakah mereka yang sudah ‘bertobat’ bersedia untuk meninggalkan praktek-praktek yang rupanya telah memberikan kemapanan dalam kehidupan sosial mereka?
Hal ini penting mengingat selalu adanya tegangan antara tatanan dan kebebasan yang timbul dengan pelbagai cara. Akibatnya, akan ada, dengan istilah Kristen, tegangan antara cinta kepada Allah dan cinta kepada sesama. Atau, dalam pandangan Mircea Eliade:
“Kelangsungan hidup sebuah agama sebagai kekuatan dominan di dalam sebuah masyarakat akan tergantung pada kemampuannya untuk menyesuaikan dan mengubah simbolismenya dengan pola baru masyarakat; kalau tidak, agama itu akan mempunyai pandangan yang terelok baik tentang Allah maupun tentang dunia dan masyarakat.” (Mircea Eliade, 1991:1)
Bagaimanapun juga, saling pengaruh antara dua tradisi budaya, dimana masing-masing saling mengoreksi dan melengkapi satu sama lain, merupakan sarana yang sangat bagus/tepat untuk merawat simbol-simbol tersebut agar ia tetap hidup dan tidak merosot menjadi tanda-tanda yang wajib belaka.
Oleh karena itu, simbol-simbol yang masih ada dalam kebudayaan Batak itu harus dihormati dan (butuh proses yang panjang) dipelajari. Hanya dengan demikianlah interaksi yang kreatif dimulai sehingga bentuk-bentuk simbolis yang baru akan muncul.
Hanya dengan mengadakan dialog, dialektika, pertemuan, pertukaran, interaksi, hubungan timbal balik, dapatlah proses kreatif simbolisasi dipelihara atau dipertahankan.
Hal ini ditegaskan oleh John Riches:
“Simbol-simbol keagamaan berhubungan dengan masyarakat tertentu. Di dalam masyarakat tertentu simbol-simbol mengungkapkan secara efektif suatu pandangan umum tentang realitas, tentang Allah, dunia dan manusia; akan tetapi, keadaan ekonomi, sosial dan politik yang selalu berubah sedemikian rupa sehingga simbol-simbol tersebut tak lagi mengungkapkan pandangan umum seperti saat itu di kemudian hari. Untuk itu simbolisme keagamaan harus diubah kecuali kita rela membiarkan agama tak lagi berhubungan dengan hidup masyarakat.”(FW. Dillistone, 2002:209)
Sebagaimana ritus perkawinan Roma, ritus perkawinan adat Batak Toba juga memuat banyak simbol. Simbol (Inggris: symbol; Latin: symbolium; Yunani: simbolon dari symballo: menarik kesimpulan, memberi kesan) yang berarti sesuatu yang biasanya merupakan tanda yang menggantikan gagasan atau obyek; kata, tanda, isyarat yang digunakan untuk mewakili sesuatu yang lain: arti kualitas, abstraksi, gagasan, objek.
Dalam arti konvensional, simbol adalah sesuatu yang dibangun oleh masyarakat atau individu dengan arti tertentu yang kurang lebih standar yang disepakati atau dipakai anggota masyarakat itu. Lebih jauh, simbol juga merupakan “citra” (image) dan menunjuk pada suatu tnda inderawi dari realitas supra-inderawi. Tanda-tanda inderawi pada dasarnya mempunyai kecenderungan tertentu untuk menggambarkan realitas supra-inderawi.
Dan dalam komunitas tertentu tanda-tanda inderawi langsung dapat dipahami, misalnya ulos dalam komunitas Batak Toba. Dalam arti religius, simbol “berpartisipasi” dalam realitas yang ditunjukkannya; simbol memiliki kehidupan: ada, berkembang, dan kadang mati. (Lorens Bagus, 1996:1007).
Sedemikian pentingnya peranan simbol-simbol itu sehingga mereka menentukan jenis, bentuk, sifat, dan tempat dari ritus perkawinan adat. Bagi masyarakat Batak Toba hubungan antara yang objektif dan subjektif amat penting. Hubungan inilah yang vital dalam setiap kegiatan simbolis dalam ritus perkawinan itu (SHW. Sianipar DL, [.]: 315-332).
Sebuah simbol dapat menciptakan suatu kesadaran kelompok. Demikian juga dengan simbol-simbol yang terdapat dalam ritus perkawinan adat Batak Toba dapat menciptakan menciptakan suatu kesadaran kelompok dalam masyarakat Batak Toba: kapan dan dimana pun mereka berada.
Dalam rangka itulah kita bisa mengerti makna dari simbol-simbol yang digunakan dalam ritus perkawinan adat Batak Toba, baik simbol non verbal/material maupun verbal gestural.
Simbol non verbal/material misalnya, pinggan pasu panukkunan yang berisi boras si pir ni tondi, napuran saatupan, tanggo-tanggo na bolon; jambar; ulos, dll.). Sedangkan simbol verbal/gestural mencakup tata gerak dalam upacara adat perkawinan itu sendiri, misalnya, ketika paranak paranakkon hata kepada parboru, marhusip, marhata sinamot, marpudun saut, pasahat sinamot, mangulosi parsinabung ni paranak, manguduti parsinabung ni paranak, mangalusi parsinabung ni paranak, dan manguduti parsinabung ni parboru).
Tulisan ini tidak bermaksud menganalisis satu per satu simbol-simbol itu. Penulis hanya memfokuskan diri pada analisa simbol-simbol yang nilainya ‘sejajar’ teologis yang sama dengan simbol-simbol perkawinan Gerejawi.
Analisis itu muncul dari pertanyaan-pertanyaan berikut ini: apakah simbol-simbol dapat membantu kita dalam mengusahakan inkulturasi liturgi perkawinan adat Batak Toba? Dapatkah simbol-simbol itu mencegah konflik antara hak dan kewajiban yang terdapat di dalam ritus perkawinan adat Batak Toba tersebut?
Mengacu kepada F.W. Dillistone (1990:193), terdapat dua kemungkinan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Kemungkinan pertama adalah kemungkinan negatif, yakni dengan cara memaksa keseragaman simbol. Misalkan, pemaksaan simbol-simbol perkawinan yang digunakan dalam ritus Roma terhadap ritus perkawinan adat Batak Toba.
Sedangkan kemungkinan kedua adalah kemungkinan positif, yakni dengan cara menetapkan sebuah simbol tatanan yang mengesan kuat dengan menegaskan suatu bangunan tanda-tanda dan mengharapkan para anggota masyarakat untuk membangun hidup mereka sendiri di dalamnya. Dari dua kemungkinan di atas, penulis cenderung untuk memilih kemungkinan kedua.
Penulis sadar bahwa pada kenyataannya budaya Batak Toba mempunyai hierarki nilainya sendiri. Selanjutnya mengenai tanda dalam kaitannya dengan tatanan yang terdapat dalam budaya Batak Toba layak dimunculkan pertanyaan ini: apakah semua aturan dan hukum perkawinan adat Batak Toba harus dipandang sebagai tanda yang tidak dapat ditawar-tawar dan bersifat haiki bagi lestarinya kehidupan yang tertata? Atau, dapatkah tanda-tanda itu berfungsi sebagai simbol-simbol, yang menunjuk lebih jauh dari dirinya sendiri?
Sekali lagi, “Sebuah barang menjadi sebuah simbol dalam kesadaran orang-orang tertentu. Ini berarti kita harus mengetahui apa “arti” suatu simbol tertentu pada umumnya, tetapi apa arti simbol itu pada kenyataannya bagi orang-orang atau kelompok-kelompok khusus pada waktu-waktu khusus.” (FW. Dillistone, 1990:196-197).
Tanda-tanda yang terdapat dalam ritus perkawinan adat Batak Toba hanya akan menjadi simbol-simbol perkawinan apabila tanda-tanda itu dilihat dalam konteks kebudayaan Batak Toba itu sendiri. Dengan demikian buku “Inkulturasi Liturgi Perkawinan Adat Batak Toba” ini mampu mengungkapkan apa yang menjadi intensi penulis.
Selanjutnya: Merumuskan Inkulturasi Liturgi Perkawinan
Sebelumnya: Inkulturasi Liturgi Perkawinan Adat Batak Toba