Menurut Vergouwen [1], terdapat 9 bentuk perkawinan adat yang (pernah) terjadi dalam masyarakat Batak-Toba. Kesembilan bentuk perkawinan tersebut dapat digolongkan dalam 2 bentuk pokok, yakni bentuk perkawinan “wajar” dan bentuk perkawinan “tidak wajar”. Mari kita bahasa satu per satu.
(a) Bentuk perkawinan “wajar”
Bentuk perkawinan "wajar" adalah bentuk perkawinan yang didahului dengan pertunangan. Bentuk perkawinan yang paling umum dan lazim ialah bentuk perkawinan yang didahului dengan pertunangan, baik karena keinginan orang tua maupun karena pilihan dari kedua calon mempelai.
Upacara pertunangan kemudian diikuti dengan pembicaraan tentang jumlah maskawin, yang diserahkan pada waktunya sebelum perkawinan dilangsungkan. Sebuah pertunangan belum dianggap sah sampai kedua belah pihak sepakat mengenai besarnya maskawin.
Jika bertindak atas nama si pemuda adalah domu-domu, maka si pemuda akan diperkenalkan dengan parboru, dan jika pihak yang terakhir ini memberi tanggapan yang memuaskan, maka selanjutnya akan dilangsungkan pertemuan pertama antara si pemuda dan calon mertua.
Bentuk upacara dalam pertemuan itu adalah sbb.:
- Pemuda dijamu makan (indahan husip atau indahan pangaririton) yang biasanya terdiri dari indahan (nasi) dan dengke (ikan).
- Apabila ayah si gadis menyetujui calon menantu, maka ia akan memberi ulos ni hela kepada calon menantu sebagi tanda hela (menantu), pada saat itu juga, atau kelak pada saat perkawinan akan dilangsungkan.
(b) Bentuk perkawinan “tidak wajar”
Bentuk perkawinan "tidak wajar" adalah bentuk perkawinan diluar bentuk yang wajar, antara lain tidak didahului pertunangan. Beberapa bentuk perkawinan “tidak wajar” yang pernah terjadi di kalangan orang Batak adalah sbb.:
- Perkawinan Lari - Dalam perkawinan model ini, pemuda menculik gadis idamannya dengan kekerasan, baik si gadis itu menghendaki-nya atau karena si gadis tidak diserahkan padanya sesuai dengan keinginan si pemuda. Caranya: si pemuda membawa-nya ke tempat tinggalnya, atau ke tempat lain yang cocok dan memuaskan keinginanya. Tindak kekerasan ini memberi hak kepada parboru untuk menuntut maskawin yang lebih besar dari jumlah yang biasa.
- Perkawinan setelah Terjadi Pemerkosaan - Perkawinan model ini kadang-kadang dijalankan untuk memaksa gadis yang didambanya agar menyetujui perkawinan. Kendati, kebanyakan pemerkosaan lebih didasari oleh dorongan nafsu yang menyala-nyala.
- Perkawinan Lari atas Tujuan Bersama - Dalam perkawinan model ini, si gadis pergi diam-diam menginggalkan rumah orang tuanya bersama pemuda pilihannya. Ini biasanya merupakan reaksi dari tekanan orang tua yang terlalu keras, yang ingin mengawinkan si gadis dengan lelaki yang tidak dicintainya, atau karena tidak adanya kesepakatan mengenai jumlah maskawin atau mahar, misalnya parboru menuntut jumlah yang terlalu banyak.
- Perkawinan dengan Godaan - Dalam perkawinan model ini, si gadis memaksakan diri kepada laki-laki yang dicintainya, dan menyerahkan diri kepada-nya dengan tujuan agar segera mengawini-nya; atau memaksa orang tuanya agar menyetujui perkawinan mereka.
- Perkawinan dengan Mengabdi - Dalam perkawinan model ini, si pemuda tinggal di rumah mertua, baik karena kerabatnya terlalu miskin, untuk membayar maskawin maupun karena si gadis merupakan anak tunggal sehingga orang tuanya tidak ingin berpisah dengan dia. Jenis “perkawinan angkat” yang ada di adat Batak-Toba, yakni perkawinan dengan hidup menumpang pada mertua disebut marsonduk hela (mertua yang memberi makan menantunya), sedangkan sang menantu menyebut dirinya hela sonduhan (menantu yang makanannya disediakan mertua).
- Perkawinan Levirat (Ganti Tikar) dan Perkawinan Janda - Dalam perkawinan model ini, seorang janda tidak kembali kepada kerabatnya sendiri, tetapi ia justru menjalin hubungan dengan kerabat dekat dan kerabat jauh dari suaminya yang sudah meninggal.
- Perkawinan Saudara Perempuan - Dalam perkawinan model ini, duda kawin dengan saudara perempuan isterinya yang meninggal.[2] Perkawinan model ini sering terjadi jika isteri pertama meninggal tanpa anak.
- Bigami dan Poligami - Orang menempuh model perkawinan ini dengan berbagai alasan [3] Yang paling umum adalah karena isteri pertama tidak menurunkan anak.
(c) Sifat Perkawinan
Adapun sifat dari ritus perkawinan adat Batak Toba adalah:
- Tempat pelaksanaan - Alaman (halaman rumah, lapangan terbuka).
- Parjuhut yang digunakan [4] - Pinahan si gagat duhut (kerbau).
- Jambar pokok - Rukkung (leher) dan ihur (ekor).
- Kedua jambar ini disebut Tudutudu Sipanganon.
- Parjambaran-nya - Panamboli, sombasomba (rusuk), tulan (pangkal paha) dan tanggo-tanggo (daging).
- Parsinambung-nya - Dongan tubu.
- Jambar (terbagi dalam tiga bentuk) - Jambar hata, hambar juhut dan jambar hepeng.
- Ulos yang digunakan - ulos passamot, ulos ni hela dohot boru, ulos ni Tulang tu na muli, dan ulos ni pamarai tu na muli.
- Ulos tambahan, tapi tidak wajib adalah ulos simandokkon, ulos ni Tulang ni suhut, ulos ni bona Tulang, ulos ni bona ni ari dan ulos ni marga
- Di luar ulos yang disebut ini tidak ada lagi ulos yang berkaitan dengan hak dan kewajiban mangulosi
(d) Ketentuan Perkawinan
Tujuan utama perkawinan dalam tatanan adat Batak Toba adalah memperoleh keturunan laki-laki secara sah. Oleh karena itu, syarat pertama perkawinan ialah kedua calon pengantin harus sudah tang pamatang dohot nunggu balga (dewasa), sebab bagi orang Batak: “yang lebih dulu lahir, lebih dulu pula menikah”.
Dengan kata lain, perkawinan hanya boleh dilakukan setelah mendapat persetujuan dari orang yang lebih tua. >>Baca kembali dari Awal
Topik Pembahasan: Ritus Perkawinan Adat Batak Toba