Ini sungguh terjadi. Seingatku semasa aku masih kuliah di Bandung, tahun 2001. Seperti biasa aku dan beberapa teman selalu jalan kaki setiap hari menelusuri jarak 800 meter.
Terkadang aku dan teman-teman naik sepeda ontel atau sesekali naik angkot. Saat itu cuaca di Bandung masih sejuk, dan pasti tak se-sumpek seperti sekarang ini.
Yang jelas, aku lebih suka jalan kaki, begitu juga mayoritas teman-teman yang 100% pria jomblo saat itu. Selain karena selalu ada teman jalan bareng, juga karena jalur yang kami lewati sangat menarik, entah lewat jalan Sumatera, atau yang paling sering lewat Jalan Merdeka.
Itu berarti kami selalu lewat pusat kota, dan saat itu BIP (Bandung Indah Plaza) masih mall favorit di Kota kembang. Selain cuaca yang sejuk, juga mata tak bisa menghindari pemandangan sejuk pula.
Paling enak kalau kuliah di atas pukul 9 pagi, tapi jangan sampai pulang di atas pukul 18.00 atau sore menjelang malam. Pasti macet tak karuan, termasuk kalau jalan kaki.
Awewe nu geulis, cewek bandung yang mayoritas cantik dan manis pasti menjadi daya tarik utama mengapa jalan kaki menjadi pilihan. Maklumlah, di kampus tempat kami kuliah mayoritas laki-laki.
Maklumlah jurusan Filsafat tak terlalu dilirik minat cewek-cewek saat itu. Selain karena ilmu tertua itu bisa mengacaukan pola pikir, juga karena di fakultas filsafat, ilmu matematika selalu bisa berubah jadi psikologi atau analisa sosial.
Ringkasnya, jurusan terlaris di Unpar saat itu adalah jurusan Ekonomi, karena terkait langsung dengan isi kantong sebelah kiri (Debit) dan kantong sebelah kanan (kredit). Dan sesederhana itulah pola pikir setelah 2 tahun reformasi berjalan.
Ini berarti, sebagai mahasiswa filsafat, kami harus berjuang menggamit hati para gadis berhati ekonomis dan punya langkah terhitung bak digit-digit uang dalam ilmu akuntansi.
Inilah yang membuat kami selalu merasa 'harus' berjalan kaki, menyisir jalanan protokol kota dan - tak lupa - selalu mampir ke BIP yang selalu ramai oleh wajah-wajah kinclong penuh senyum, sesekali menatap dengan kerlingan genit, dan berjalan dengan goyangan pinggul ala model pakaian rancangan Edward Hutabarat.
Itulah pemandangan yang kami nikmati setiap berjalan menuju kampus Unpar di Jalan Nias dan Jalan Merdeka. Dan.... ini sangat biasa. Tapi yang berikut ini yang luarbiasa dan janggal.
Kami punya teman. Namanya Bondan (bukan nama asli!). Dulu ia bercita-cita menjadi seorang pengusaha muda yang digemari ibu-ibu. Begitu ia pernah bertutur. Minimal itu yang ia ceritakan saat kami ngobrol santai di mini cafe saat uang saku masih ada di saku.
Badannya tegap, cukup tinggi dan wajahnya memang terlihat sebagai pria metroseksual yang disenangi wanita-wanita sosialita. Sayangnya, tampangnya yang cukup oke tadi tak diimbangi oleh sikapnya yang terkadang kampungan.
Tapi itu hanya sebentar saja. Belakangan ia pinter memoles kata gombal untuk kaum wanita, entah masih gadis, entah sudah menikah tapi tubuhnya masih assoy geboy kendati agak tomboy. Bondan memang jagonya di bidang ini.
Tak lama bagi gadis-gadis atau ibu-ibu muda genit untuk berada di pelukannya. Rupanya, segala kemudahan ini telah mengubah style-nya. Ia makin rajin menyemprot parfume di tubuhnya.
Bondan juga sudah mulai pusing dengan baju, celana, dan sepatu yang ia kenakan: warna dan bentuknya matching atau tidak... Pendeknya ia semakin terlihat sebagai pria metroseksual, kalau tidak mau dikatakan sedikit lebih binal.
New style yang semakin menggerogoti pikirannya hingga makin menjauh dari kami, teman-teman yang biasa menikmati kecantikan awewe nu geulis dari kejauhan.
Posting Komentar